In Memoriam: My Old Man – Tujuh, menuju 8 bulan berlalu kepergian kedua orang tua. Ramadan kali ini terasa berbeda karena ini Ramadan pertama saya tanpa kedua orang tua. Saya sudah lama move on tapi namanya rindu anak kepada orang tuanya tetap ada. Kerinduan yang saya sampaikan kepada Allah usai shalat.
Kebiasaan Papa teringat lagi. Almarhum sering berupaya membeli ifthar atas keinginannya sendiri. Bertahun-tahun kebiasaan itu dilakukannya. Sore hari, mengajak satu atau dua cucunya (Athifah dan Afyad) ke penjual ifthar di dekat rumah kami lalu pulangnya, cucunya membawa tentengan dengan wajah semringah karena boleh memilih berbuka puasa dengan menu apa hari itu.
Dalam handphone saya
tersimpan satu foto candid saat Ramadhan tahun lalu, ketika Papa
pulang dari membeli es buah untuk berbuka puasa. Kebiasaan beliau, begitu
pulang dari membeli makanan, langsung mengambil piring atau mangkuk sajinya
untuk meletakkan penganan yang dibelinya itu. Bila perlu, lengkap dengan
sendoknya sehingga seisi rumah tinggal menyantapnya saja.
My great old man
ini
tipikal bapak yang senang melayani. Melayani istrinya, melayani anak dan
cucunya, untuk hal kecil sekali pun. Untuk hal-hal kecil saja, beliau tidak
memberi perintah. Apa-apa dilakukannya sendiri. Tidak pernah beliau
mengangsurkan kemasan makanan yang dibelinya kepada saya untuk saya pindahkan
ke piring atau mangkuk kecuali jika saya yang memintanya terlebih dulu.
Bisa kalian bayangkan jika
untuk hal kecil saja beliau mengerjakan sendiri, apatah lagi hal yang lebih
besar seperti mencuci pakaian. Saya sering merasa heran sendiri, Papa tidak
pernah meminta saya mencucikan pakaiannya padahal saya kerap meminta
pakaian kotornya untuk saya bantu cucikan.
Saya menggunakan mesin
cuci jadi tidak repot, tinggal mengumpulkan pakaian kotor seisi rumah untuk
disatukan, dimasukkan dalam mesin cuci. Jadi sebenarnya sama sekali tidak
merepotkan tapi Papa sepertinya enggan merepotkan saya. Kalau saya lupa meminta
pakaian kotornya, tahu-tahu beliau sudah mencuci pakaiannya sendiri. Jika sudah
begitu, dengan perasaan bersalah saya mendekatinya dan mengatakan, “Pa, kenapa ndak
cuci mesin saja?”
Flash back saat masih SMA dan kuliah,
Papa kerja sore sampai malam di Apotek Bogani. Papa bekerja bertahun-tahun
sebagai Kepala Asisten Apoteker. Paling lama di Rumah Sakit Hikmah sebagai
Kepala Apotek tapi di RS Hikmah ini sampai jam 1 siang saja.
Jika tiba-tiba pengen
ngemil usai makan malam, saya atau Mirna adik saya menelepon beliau di
apotek dan meminta dibelikan terang bulan (martabak manis). Pulang di rumah
sudah jam 21.30 atau jam 22.00, ngemillah kami. Tak pernah Papa abai
membelikan pesanan kami.
Jangankan terang bulan,
ketika tiba-tiba butuh pembalut di malam hari, Papalah orang yang kami kontak
untuk membelikannya dan beliau tak pernah menolak. Soalnya tak mungkin anak
gadisnya keluar malam-malam sendirian untuk membeli pembalut. Tidak ada warung
di sekitar rumah kala itu.
Kalau mau ke toko, harus
ke jalan besar dengan naik becak terlebih dulu. Untuk cari tukang becak yang
lagi lowong, harus berjalan kaki sekira 100-an meter melewati gang gelap menuju
Toko Kembang Melati. Bersyukur Papa tidak pernah risih membelikan
putri-putrinya ini pembalut wanita.
Bertahun kemudian, sesekali ketika saya keluar rumah bersama suami, Papalah yang menjaga anak-anak kecil kami. Semasa bayi, di atas stroller, Papa menemani bayi kami sampai kami pulang. Saat usia batita, Papa menemaninya bermain, memperbaiki mainan mereka yang rusak, terkadang sekaligus membuat mainan baru dengan kreativitasnya hingga kami pulang.
Saya memastikan anak-anak
sudah makan dan bersih ketika saya tinggal tetapi namanya anak-anak, tidak
terduga bisa tiba-tiba kotor lagi dengan berbagai sebab, maka Papa yang
membersihkannya tanpa mengeluh.
Hanya sesekali saja, mana
saya tega membiarkan orang tua mengurusi anak-anak saya. Makanya saya nyaman
sekali dengan pekerjaan menulis dan ngeblog karena bisa saya kerjakan
dari rumah saja.
Benar adanya kata para
ahli perkembangan anak, akan terekam di memori seseorang, kenangan istimewa
dengan orang tuanya. Tak perlu dengan barang berharga, cukup dengan
kenangan-kenangan kecil yang manis. Kenangan yang sepertinya menyumbangkan
ikatan batin yang kokoh antara orang tua dan anak.
Meski bukan orang yang
hangat karena termasuk tipikal orang pendiam dan introvert, kenangan
saya tentang Papa yang paling melekat adalah tentang dirinya yang sangat family
man, tidak suka menyuruh, dan cekatan ketika dimintai bantuan.
Aih, menuliskan ini membuat
mata saya berkaca-kaca lagi. Semoga Papa baik-baik saja di alam barzakh.
Allahummaghrli waliwaalidayya warhamhuma, kamaa rabbayani shaghiraa. Miss you, Pa,
Ma.
Makassar
30 April 2022
Share :
0 Response to "In Memoriam: My Old Man"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^