Saya terpesona dengan akting pasangan suami-istri Dimas Seto dan Dhini Aminarti di dalam film Hayya 2: Dream, Hope & Reality. Dalam film ini keduanya berperan sebagai pasangan suami-istri (Faisal dan Lia) yang kehilangan Hanna – buah hati semata wayang mereka. Kehadiran Hayya menimbulkan warna-warni baru di antara keduanya, sekaligus mengorek luka dalam jiwa Lia yang sangat terpukul atas kepergian putrinya.
Dhini Aminarti dan Dimas Seto
memainkan peran sebagai orang-orang yang tertekan. Lia depresi karena kehilangan
yang dideritanya hingga denial
dan halu.
Dia terus bersikap seolah-olah Hanna masih hidup: menyiapkan sarapan Hanna sebelum
berangkat ke sekolah, menjemput ke sekolah, dan ketika ada yang mengatakan
putrinya tidak ada, dia membantahnya hingga naik pitam.
Di sisi lain, Dimas merasa tertekan dengan perilaku istrinya sementara dirinya pun merasa kehilangan putri semata wayangnya. Pantai membuatnya trauma karena putrinya tenggelam ketika mereka sedang rekreasi di pantai. Namun dia tetap bersabar dalam mendampingi istrinya.
Kemunculan Hayya yang
tiba-tiba ada di kebun stroberi di pekarangan rumah Faisal dan Lia menjadi awal
konflik film ini yang sesungguhnya. Siapa Hayya sebenarnya dan bagaimana sampai
dia ada di Indonesia, bisa dibaca di tulisan saya yang berjudul Hayya:
Kisah Kasih Palestina – Indonesia.
Hayya – gadis kecil asli
Palestina ini seharusnya tidak berada di Indonesia. Diceritakan di awal film, ketika
rencana pemulangannya ke Palestina tengah berjalan, tiba-tiba saja Hayya menghilang.
Karakter yang diperankan oleh Amna Shahab ini ikut kendaraan pembawa barang-barang
dari Jakarta hingga ke Bandung Selatan. Ditemukan oleh Lia kala sedang melahap
buah stroberi di pekarangan rumahnya, Hayya kemudian menjelma menjadi Hanna
bagi Lia.
Lia mendandani
Hayya selayaknya Hanna. Memperlakukan Hayya persis seperti memperlakukan Hanna,
termasuk mengantar Hayya ke sekolah Hanna. Faisal yang sedang dalam upaya
menyembuhkan istrinya, mengikuti kemauan Lia karena mendapati istrinya yang
sehari-harinya tertekan terlihat bahagia sejak ada Hayya dalam rumah mereka.
Lalu malapetaka pun terjadi. Tak disangka, Hayya alergi berat lobster. Lobster merupakan makanan kesukaan Hanna yang tentu saja tak mengapa jika Hanna yang sebenarnya yang menyantapnya. Lia memberikan Hayya lobster dan Hayya menyantapnya dengan lahap. Lalu tiba-tiba Hayya kolaps. Seketika ruam merah muncul di kulitnya disertai sesak napas sehingga Hayya harus dilarikan ke rumah sakit.
Dokter yang
memeriksa mengatakan bahwa sesak napas yang dialami Hayya diperparah dengan adanya
serpihan besi dan aluminium yang ditemukan dalam paru-paru gadis kecil itu.
Serpihan besi dan aluminium dalam paru-paru, konon biasa ditemukan dalam
paru-paru orang-orang yang berada di dalam wilayah yang sedang mengalami
konflik hebat.
“Tidak
mungkin!” Lia setengah menjerit menimpali perkataan dokter.
Faisal yang
bergelut dengan perasaan kasihnya kepada istrinya, menghubungi Rahmat untuk
kedua kalinya. Kalau pada kali pertama Faisal belum mengakui Hayya ada di
rumahnya, kali ini dia berterus terang kepada Rahmat.
Tak hanya
mendapat bogem mentah dari Rahmat, Faisal terpaksa bersikukuh dengan istrinya, “Hanna
sudah meninggal. Itu bukan Hanna!”
Sampai akhir film,
saya mengagumi akting pasutri Dimas dan Dhini. Emosi yang mereka tampakkan menunjukkan
seolah mereka berdua yang mengalami peristiwa kematian Hanna, malapetaka yang
dialami Hayya, lalu kemudian harus menerima kenyataan Hayya dibawa pergi.
Perasaan saya ikut teraduk-aduk menyaksikan teraduk-aduknya warna-warni emosi yang
mereka tampakkan.
Faisal yang
sabar, berupaya mendampingi istri tapi kemudian memendam rasa kehilangannya
sendiri terhadap putrinya dan sekaligusnya kelelahan menghadapi istrinya. Lia
yang psikosis (KBBI: kelainan jiwa yang disertai dengan disintegrasi
kepribadian dan gangguan kontak dengan kenyataan), akhirnya berupaya menerima
kenyataan dengan shalat dan istighfar. Baik Dimas maupun Dhini – mereka
berdua sempurna memainkan peran Faisal dan Lia di mata saya.
Lalu apa
pelajaran penting dari Hayya 2: Hope, Dream & Reality? Menurut saya, ada 2:
1.
Pentingnya Keluarga
Keluarga
memegang peranan penting bagi setiap orang dalam menjalani momen-momen kehidupannya.
Hayya tak hendak kembali ke Palestina karena keluarganya sudah tak ada, dia
mendambakan kebahagiaan dalam keluarga yang hangat. Rahmat yang dipanggilnya “Abi
Rahmat” merupakan sosok yang menjadi alasan baginya untuk tetap di Indonesia.
Kehangatan keluarga dirasakannya kembali dari Lia dan Faisal.
Lia butuh
Faisal yang menerima kondisinya dengan sepenuh hati untuk bangkit dan menghadapi
kenyataan bahwa putri mereka telah tiada. Sebaliknya, Faisal juga butuh
dimengerti oleh istrinya di saat dirinya sudah merasa terlalu lelah. Namun di
atas segalanya, ketika Allah menakdirkan mengambil salah satu anggota keluarga,
rasa kehilangan harus berani dijalani dengan lapang hati sebagai pengakuan atas
kemahabesaran-Nya dan sikap berserah diri kepada-Nya.
… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (Q.S. Al-Baqarah: 216).
2.
Pentingnya Kejujuran
Masalah pelik
dalam film Hayya 2: Hope, Dream & Reality bisa diselesaikan, salah satunya
dengan kejujuran. Ketika Faisal jujur menceritakan kondisi Hayya yang terbaring
di rumah sakit pada Rahmat meskipun itu pedih – hal ini justru membantu
menyelesaikan persoalan terkait Hayya. Begitu pun ketika mengalami musibah, menyangkal
tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik. Jujur pada diri sendiri dan
menerima takdir, itu jauh lebih baik.
By the way, ada yang
sudah nonton Hayya 2: Hope, Dream & Reality? Bagaimana kesannya?
Makassar, 15 April 2022
Share :
Kisah seperti udah jarang banget nemu, konflik antarnegara dan pemerannya anak kecil seperti ini memang gak main-main kisahnya, luar biasa banget. Jadi ingat yang film India gadis bisu itu sama seperti ini idenya, jadi penasaran sama ini.
ReplyDelete