Naifnya Marah pada Alat Uji – Pernah dizalimi orang dengan cara yang kebangetan? Saya pernah dijahati orang. Tak akan saya ceritakan di sini seperti apa kisahnya. Untuk menggambarkan, bagaimana dampak dari bertahun-tahun dijahati itu, sampai sekarang saya tidak mau berada bersama orang tersebut dalam satu ruang yang sama, baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya.
Yang akan saya ceritakan
di sini adalah bagaimana saya mencari cara untuk berdamai dengan hati saya
dengan mencoba memaafkan dia sebelum dia meminta maaf. Bukan untuk orang itu.
Sama sekali bukan untuk dia, melainkan untuk ketenangan hati saya sendiri.
Untuk menyiram percikan sisa kemarahan yang masih tertinggal. Saya ingin
menyiram sisa kemarahan itu dengan air kesejukan yang menenangkan jiwa.
Seorang kakak yang baik hati (terima kasih, Kak) menasihati saya bahwa akan lebih baik bagi saya memaafkan tanpa diminta karena nantinya akan berakibat baik pada diri saya sendiri. Saya memahami nasihatnya dan berupaya mencari caranya sampai kemudian saya menghadiri pelatihan ruqyah yang diselenggarakan oleh Rehab Hati dengan Ustadz Nuruddin Al-Indunisy (NAI) sebagai narasumbernya pada tanggal 14-15 Mei lalu di Graha Pena.
Membedakan
Memaafkan dan Tidak Melupakan
Ustadz NAI menceritakan kisah Wahsyi
bin Harb yang membunuh Hamzah – paman Nabi Muhammad saw di perang Uhud. Wahsyi
ini pada akhirnya memeluk Islam. Nabi memaafkannya tetapi berharap tak
melihatnya lagi. “Sebaiknya Engkau menghindari perjumpaan denganku,” kata
Rasulullah usai Wahsyi mengucap dua kalimat syahadat dan menceritakan ihwal
dirinya menombak Hamzah di medan perang.
Mendengar kisah ini, saya
tahu bahwa sikap saya tak ingin bertemu orang itu baik di dunia maya sekali pun
tidak melanggar apa-apa. Memaafkan dan tak melupakan adalah dua hal yang berbeda. Oleh karenanya saya
harus belajar untuk memilahnya.
Ustadz Nuruddin pun menekankan
bahwa Nabi tak bisa melupakan namun beliau bisa memaafkan. Itulah yang harus
kita teladani. Begitu pun dengan saya, saya HARUS BISA MEMAAFKAN walaupun saya TAK BISA MELUPAKAN
KEJAHATAN ITU.
Oke, pelajaran pertama
masuk.
Urusan Kita
Bukan pada Alat Uji!
Ustadz NAI juga menceritakan
riwayat ketika nabi disihir menggunakan sisir dan rambut beliau yang rontok.
Salah seorang peserta bertanya, bagaimanakah sikap Nabi terhadap penyihirnya, Ust.
Nuruddin menjawab tidak ada riwayatnya. Menurutnya, tak penting bagaimana
bersikap terhadap tukang sihir karena urusan korban sihir adalah kepada Allah
semata dalam menghadapi ujiannya, tidak ada urusan dengan tukang sihirnya.
Mengapa demikian? Karena
setiap orang toh nantinya akan bertanggung jawab atas segala amal perbuatannya,
bukan? Dan seseorang yang terkena sihir itu menunjukkan bahwa ujian
kehidupannya berupa sihir, artinya … ALAT UJI dirinya adalah sihir.
Tugas seseorang yang mendapat ujian adalah menyelesaikan ujiannya
sebaik-baiknya. Tak ada hubungannya bagaimana “kertas soal” yang diberikan
ketika ujian. Yang jelas, soal harus segera dikerjakan.
Kira-kira begitu hikmah
dari ujian sihir yang diperoleh Rasulullah di waktu lampau. Sihir ataupun ujian
kehidupan lainnya itu merupakan ALAT UJI. Jadi, alat uji ya alat saja. Yang
penting bagaimana kita sebagai subyek melalui ujian itu.
Oke, pelajaran kedua
masuk.
Jangan Marah
pada Alat Uji!
Bagaimana sikapmu jika
melihat seseorang merobek-robek kertas ujiannya sembari marah-marah? Mungkin
dirimu merasa orang seperti ini lucu ya?
Nah, begitulah gambarannya jika
kita marah-marah pada alat uji. Ustadz NAI mencontohkan, orang yang marah-marah
pada tukang sihir atau orang yang menyihirnya itu sebagaimana anak yang mau
ujian kenaikan kelas, lalu dia merasa soalnya terlalu sulit, kemudian dia
marah-marah dan merobek-robek kertas ujiannya!
Membayangkan diri saya di
posisi itu rasanya kok konyol, ya. Saya sudah berkali-kali melalui ujian
tertulis baik di dunia nyata maupun dunia maya namun saya sama sekali tak
pernah marah-marah kepada kertas atau soal atau layar gadget/komputer
saat merasa soalnya terlalu sulit. Naif sekali melakukan itu.
Kali ini fix, masuk
di akal saya mengapa saya harus memaafkan orang yang pernah menzalimi saya
sekali pun dia tak meminta maaf terlebih dulu. Alasannya adalah untuk
kepentingan saya, agar saya tak menjadi orang yang konyol sekaligus naif!
Sip, pelajaran ketiga masuk.
Berapa Lama
Mau Membawa “Beban Kemarahan”?
Analogi terakhir yang
membuat saya mantap menundukkan hati saya untuk memberi maaf adalah mengenai
apa yang dirasakan seseorang ketika dia memegang sebotol air kemasan dengan
cara merentangkan tangan, selama 10 detik. Capekkah? Pastinya belum ya.
Tapi coba bayangkan ketika
dia memegang sebotol air kemasan, masih dengan cara merentangkan tangan tapi
selama 1 jam … lalu selama 10 jam, selama 1 hari, 1 pekan, 10 tahun? Capek,
tak? Pastinya capek, kan?
Nah, begitu pula analoginya
kalau jiwa kita tak dibebaskan dari emosi negatif semacam kemarahan itu
meskipun hanya sisa-sisa serpihannya. Bakal capek! Yang rugi siapa? Ya, diri
sendiri.
Baiklah, pelajaran keempat
masuk.
Bismillah, mari belajar memaafkan kesalahan
orang lain. Sekali lagi, bukan untuk kepentingan dia (kepentingan dia mah urusan
dia dengan Allah, ya), melainkan untuk kepentingan diri sendiri. Untuk
kebersihan jiwa dan ketenangan hati. Muthmainnah.
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku (Q. S. Al-Fajr ayat 27 – 30).
Masya Allah. Jazaakumullahu Ustadz Nuruddin Al Indunisy dan adik baik yang merekomendasikan saya
mengikuti pelatihan ini. Baarakallahu fiikum. In syaa Allah, amal jariyah
bagi kalian.
Makassar, 29 Mei 2022
Share :
Masyaallah. Semoga istiqamah ki dalam hal memaafkan siapapun yg telah menzalimi, bukan demi dia atau siapa-siapa, tetapi demi diri sendiri.
ReplyDeleteAamiin. Memang bukan hal yang mudah, ya, Kak tapi perlu diusahakan untuk kebaikan diri sendiri. Untuk kebersihan jiwa dan ketenangan hati. Muthmainnah.
DeleteMasyaAllah, dapat banyak pelajaran berharga. Kadang nasihat sudah sering didengarkan, namun saat moment yang pas, dia akan membekas.
ReplyDeleteNah, masyaallah memang kita tidak bisa menyalahkan alat uji bagaimanapun itu hanya sebagai pembuktian. Jika memang marah dan tidak terima dengan hasil uji ada baiknya menenangkan diri tidak malah melimpahkan kemarahan ke alat uji, ya. Terima kasih sharingnya!
ReplyDeleteMasya Allah, 4 pelajaran tentang memaafkan yg sangat bermanfaat bagi saya juga, Mbak. Terima kasih, ya.
ReplyDeleteSaya juga pernah marah pada seseorang seperti itu, sudah saya maafkan tapi memang tak bisa melupakan. Bismillah.. semoga kita semua diberikan ketenangan hati dan terus belajar jadi lebih baik :)
Jadi marah itu memang ujian itu sendiri ya Niar..
ReplyDeleteYa semua orang pasti pernah marah - pernah malu - pernah sedih - dendam dan entah apa lagi, tapi tidak semua paham bahwa yang patut diambil sarinya adalah kemarahan itu sendiri. Sementara, soal "balas membalas" sudah urusanKU kata Allah
Ku ingat Abdul-Munim Sombat Jitmoud - seorang pria muslim di AS yang memeluk dan memaafkan pembunuh anaknya di ruang sidang.
"Memaafkan adalah hadiah atau sedekah terbesar dalam Islam. Aku harus memasrahkan diriku untuk memaafkan seseorang yang telah bersalah kepada keluargaku," katanya. Barakallaahu fiik.
4 pelajaran yang sangat berharga mbak, terima kasih sudah membagikannya di sini.
ReplyDeleteMemaafkan tapi tak melupakan, kayaknya saya juga ada yang begini. Sampai sekarang ada satu orang yang selalu saya hindari untuk berada dalam satu ruangan bersama
Memaafkan orang lain yang berbuat salah dan membuat hati resah bukan kepalang serta sakit hati misalnya, tentu bukan hal mudah. Kita berusaha memaafkannya agar hati merasa tenang dan damai. Sepertinya memang butuh ilmu agama yang cukup tinggi agar hal seperti ini dimudahkan.
ReplyDeleteSungguh, 4 pelajaran yang berharga mbak
ReplyDeleteMemang kita harus bisa sabar dan memaaafkan ya
Tapi jujur, aku tuh sulit buat maafin
Apalagi kalau salahnya fatal banget
Kok iya banget ya, kak Niar..
ReplyDeleteKetika kita marah, sesungguhnya yang rusak adalah diri sendiri dengan segala keburukan hati yang bisa memperburuk kesehatan juga.
Pesannya akan selalu aku ingat, kak Niar. Bahwa jangan pernah marah pada "kertas lakmus" tetapi fokus pada penyelesaiannya.
MashaAllah~
Tabarakallahu...atas hikmahnya, kak Niar.
Sehat selalu untuk kak Niar dan keluarga.
Salam sayang dari kami di Bandung.
Ya Allah pas banget postingannya dengan apa yang aku alami mbak. Saat ini aku lagi membawa beban kemarahan, walau gmn yaa, aku sebenarnya santuy tapi kadang kalau ketrigger tu suka ingat lagi. Makanya aku kemudian memilih menjauhi manusia2 yang bikin kemarahanku tersulut kembali. Berat banget emang memaafkan tapi juga kudu melupakan itu, emang bisa yaaa? (nanya lagi haha :P )
ReplyDeleteMasya Allah baca tulisan ini jadi ikut dapat 4 pelajaran berharga, terima kasih Mbak Mugniar. Ada istilah "berdamai dengan diri sendiri", untuk tujuan ketenangan hati kita sendiri. Orang yang berhasil berdamai dengan dirinya, jiwanya akan tentram :)
ReplyDeleteWaw, masuk semua tausiyahnya. Memang kita juga 'diuji' dengan sikap kita dalam menghadapi ujian itu sendiri ya, karena nilai hikmahnya di situ, sejauh mana kita bisa bijak dalam mengelola emosi dan menyelesaikan ujian.
ReplyDeleteSifat nabi harus di coba memafkan tapi jangan lihat mukanya lagi. Orang yang memaafkan balasan surga
ReplyDeleteNah bener ya yg sulit itu gimana cara berdamai dengan hati dg coba memaafkan, sebelum y.b.s meminta maaf... Harus bngt lapang Dada beri kedamaian di hati sendiri y
ReplyDeleteMasyaAllah.. betul banget mbak, kadang kita lebih sering marah sama alat ujinya, banyak pelajaran masuk dalam artikel ini. Sebaiknya saya juga belajar memaafkan, demi diri sendiri ^^
ReplyDeleteSharing yang sangat berharga. Aku selalu suka ceramahnya ustad NAI .. akupun selalu berusaha memaafkan siapapun yang jahat sama aku..meski aku ngga bisa melupakan
ReplyDeleteMbaaak makasih banyak loh tulisan ini. Aku pernah difitnah juga dan ini masuk banget sama ceritaku. Alhamdulillah jadi lebih adem. Aku bookmark ah blog post ini kali aja perlu membaca ulang agar hati menjadi tentram :)
ReplyDeleteBener loh mba. Capeeeek kalo membenci seseorang itu. Energi habis hanya utk mikirin bagaimana membalas mereka yg sudah menyakiti.
ReplyDeleteAku lebih memilih utk memaafkan, tapi mungkin tidak akan mau berhubungan lagi. Masih lebih bagus, Krn setidaknya aku udah maafin apa yg dia lakuin,. Tapi jadiin pelajaran utk ga dekat lagi dengan orang tersebut. Krn udah tau sifatnya seperti apa .
MasyaAllah
ReplyDelete