Anak gadis sudah duduk di kelas X sekarang. Sudah SMA! Bukan gadis mungil lagi. Saya tidak mau bilang ini “tak terasa” karena bagi ibunya, perkembangan anak sejak di kandungan hingga di titik ini tentu “sangat terasa” dinamikanya. Sebagaimana saya dan suami dulu, Athifah dan si sulung Affiq merupakan pejuang PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) sekolah negeri.
Menariknya, untuk masuk
sekolah negeri, anak belajar berjuang sejak sebelum duduk di tingkat akhir
dalam jenjang pendidikannya karena penilaian mencakup rapor dari kelas-kelas
terdahulu. Kepada dua anak terbesar saya tekankan bahwa ini perjuangan mereka
dan mereka yang akan menikmati. Bukan untuk saya. Saya ikut senang jika
pencapaian mereka bagus tapi bukan saya yang akan merasakan dampak positifnya
secara langsung melainkan mereka sendiri.
Mindset seperti itu saya anggap perlu menekankan kepada mereka karena dulu saya tak memilikinya. Alhamdulillah, saya dulu bisa lulus setiap jenjang pendidikan dengan baik dan bersekolah di sekolah-sekolah dan kampus negeri terbaik di kota saya. Sayangnya, tujuan saya hanyalah membahagiakan orang tua karena ketika melihat rapor yang bagus, terlihat binar bangga dan senyum orang tua. Setelah itu orang tua akan menceritakannya kepada karib dan kerabatnya bahwa anaknya dapat ranking atau nilai rapornya bagus. Saya ingin membahagiakan mereka dengan rajin belajar dan mendapatkan rapor yang bagus.
Saya baru menyadari
setelah 17 tahun lulus kuliah bahwa saya harus mulai menekankan kepada anak-anak
tentang pentingnya pendidikan bagi mereka adalah untuk mereka sendiri. Untuk
masa depan mereka. Bukan untuk membahagiakan saya.
Sebuah perenungan mendalam
saya tuangkan dalam tulisan berjudul Memaknai
Kelulusan, 17 Tahun Kemudian, berikut ini petikannya:
Saya tidak
mempersiapkan diri saya menghadapi kelulusan dengan melihat ke dalam diri saya.
Saya “tidak tahu”, selain untuk membahagiakan orang tua, apa esensi dari
kelulusan saya. Saya kekurangan bahan dalam memaknai kelulusan.
Maka dari
itu, saya menanamkan awareness secara sengaja kepada mereka mengenai
pentingnya sekolah. Di samping itu juga pentingnya menjadi orang yang bermanfaat, bukan
menjadi orang kaya. Jadi orang kaya tapi tidak bermanfaat apa bagusnya.
Penekanan menjadi orang bermanfaat jauh lebih penting.
Mengenai
rezeki mereka, cukup menjadi salah satu do’a saya yang dipanjatkan kepada Allah.
Harapannya anak-anak menjadi orang yang bermanfaat bagi kebaikan orang lain dan
realistis, serta mampu menerima keadaan.
Athifah
mengikuti dua macam sistem penerimaan peserta didik baru. Pertama, dia
mengikuti tes bersama untuk masuk Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Dia lolos
hingga tes tahap terakhir namun gugur. Pelamar untuk MAN 2 banyak sekali. Di
tahap terakhir masih ada 700-an pendaftar sementara yang diterima hanya 300-an siswa.
Sewaktu saya
tanya-tanya apa saja pertanyaan yang diberikan padanya. Mudah saja sebenarnya,
seperti alasan memilih MAN 2, tes qiro’ah dan berapa uang jajannya dalam
sehari. Jumlah pertanyaan yang diberikan pun sedikit karena kepentok waktu
shalat ashar. Yah, bukan rezekinya lulus di MAN 2 sebagaimana si sulung
Affiq yang lulusan sana.
Ada yang
bilang harus pakai "orang dalam” dan bayar. Ah, sudahlah. Kalau memang tidak
lulus memang dia tidak berhak untuk bersekolah di sana. Tidak usah bayar-bayar
segala demi bisa sekolah di sekolah favorit. Bagi saya itu tak bijak. Terserah
jika ada yang berpikiran lain, hak masing-masing orang toh. Yang jelas,
saya tidak mau mencari bantuan orang dalam meski itu bisa saya lakukan untuk
urusan seperti ini.
Alhamdulillah,
rezeki Athifah lulus PPDB di salah satu SMA negeri yang juga menjadi favorit.
Jumlah pendaftarnya pada tahun ini mencapai 1000 orang sementara yang diterima
hanya 300-an orang. Athifah bisa masuk di sana melalui jalur prestasi akademik.
Masya Allah.
In syaa Allah, dengan
cara yang wajar, memang dia berhak mendapatkan kursi di SMA negeri itu. Ada rasa percaya diri dan harga diri menyertai. Bismillah,
Athifah. Kini masuk tahap baru perjuanganmu. Lakukan yang terbaik, versi
terbaik dirimu. In syaa Allah bisa!
Makassar, 23 Juli 2022
Share :
Iya mba, aku juga ga mau kok pake cara2 orang dalam gitu. Kalo memang bukan rezeki anak kita sekolah di sana, ya sudah, cari yg lain. Ga perlu lah pake menyogok dan minta bantuan orang dlm segala. Ga mungkin gratis juga pake orang dlm kan..
ReplyDeleteToh terbukti juga, kalo memang anaknya mampu, dan itu rezekinya, pasti bisa diterima
Satu hal yang orang lupakan Mbak, dalam Islam yang menyogok dan disogok, dua2nya kena dosa. Na'udzubillah. Ingin menjadi sesuatu dengan membayara sementara sebenarnya secara wajar tidak perlu membayar itu sudah termasuk sogok. Semoga Allah menjauhaknan dari yang demikian.
DeleteWah, Athifah sudah SMA ternyata. Semoga lancar sekolahnya.
ReplyDelete