Kisah Vaksin Ketiga - Sudah hampir tinggi matahari ketika kami tiba di puskesmas itu. Di antara 3 orang dewasa di rumah, tinggal saya yang belum divaksinasi booster untuk mengatasi covid-19. Di sebuah ruangan khusus vaksin covid ada 2 tenaga kesehatan yang sedang bertugas. Bersyukur masih ada tersisa satu jatah vaksin booster siang itu untuk saya.
Saya
beruntung karena tak ada orang lain lagi saat saya datang jadi saya langsung
dilayani. Seperti biasa, saya mengisi data diri dulu. Fotokopi kartu keluarga
(KK) yang saya siapkan ternyata tidak diminta. Tak seperti saat vaksin covid 1
dan 2 tahun lalu yang mana saya harus menyetor KK.
Entah ya, mengapa puskesmas yang ini berbeda dengan puskesmas tempat saya melaksanakan vaksin 1 dan 2 dulu. Apakah karena sekarang sudah sangat fleksibel dibandingkan dulu ataukah memang di puskesmas ini sejak dulu tidak memerlukan fotokopi KK orang yang vaksin, ya?
Mengenang
1 tahun deraan covid, saya masih merasa perlu menjalani vaksinasi lagi. Jika ada
rezeki, saya membutuhkan sertifikat vaksin untuk memudahkan urusan saya kelak. Tanggal
20 Agustus lalu menjadi salah satu hari bersejarah itu. Kondisi di sana sudah
jauh lebih fleksibel dibandingkan kondisi saat vaksin 1 dan 2 dulu.
Nakes tak
lagi mengenakan APD (alat pelindung diri) di puskesmas yang saya datangi itu.
Nakes yang menyuntikkan vaksin sangat santai. Dia mampu bekerja multitasking,
sejak saya datang hingga meninggalkan ruangan, dia melakukan pekerjaannya
sembari ngobrol dengan seseorang melalui handphone-nya.
Saat
mendekati mejanya, kontan saya merasa waswas. Ingatan saya berkelebat pada
berita viral mengenai seorang anak yang disuntik kosong sekira setahun yang
lalu. Saat mempersilakan saya duduk di
kursi di dekatnya, dia masih terus berbicara di HP-nya dan dia masih terus ngobrol
saat menyuntik saya. Rasa waswas saya semakin besar lalu bismillah, sudah
selesai saja prosesi vaksinasi itu.
Alhamdulillah
efek vaksin Pfizer tidak parah pada tubuh saya. Rasanya sakit di bekas
suntikan dan agak meriang tapi tidak sampai demam. Kurang dari sepekan efeknya
sudah tidak terasa lagi. Kalau diingat-ingat, sampai bisa vaksinasi pertama,
menjadi proses perjuangan tersendiri bagi saya, mengingat cukup lama menunggu
pulih dari sakit covid-19.
September
tahun lalu bukan kali pertama saya kena covid. Saya pertama kali merasakannya
pada Juli 2022, tertular dari suami. Saat itu suami sakitnya cukup parah
sampai-sampai sering saya dapati dia bengong. Suatu kali saya mengomel dan dia
mengamati saya tetapi saat sembuh saya menanyakannya, dia mengatakan hanya
menatap saya tetapi tidak paham apa yang saya bicarakan.
Ketika pak suami sedang proses penyembuhan, gantian saya yang sakit. Sakitnya tidak separah sakit covid bulan berikutnya (September) tetapi saya mengalami batuk-batuk yang lumayan parah. Batuk-batuknya ini masih ada “sisanya” sampai berbulan-bulan kemudian padahal saya sudah sembuh dari covid.
Batuk-batuk
tidak saya alami setiap hari setelah sembuh. “Hanya” kambuh di saat saya
terlalu capek, stres, atau kedinginan. Lumayan menyiksa karena yang saya alami setelahnya
bukan
September ceria ataupun Desember kelabu. Namun
demikian hingga Januari pun, batuk itu masih menyerang. Paling tidak enak bila
muncul di saat jelang tidur di malam hari karena membuat saya sulit tidur.
Sewaktu kedua
orang tua sakit dan hasil swab antigen keduanya menunjukkan hasil
positif pada Agustus lalu, saya beserta suami dan anak-anak tes antigen juga.
Hasilnya, kami semua negatif. Sesaat sebelum tes antigen waktu itu, saya
tiba-tiba saja diserang batuk-batuk hebat yang setengah mati saya hentikan.
Sampai-sampai
merasa tidak enak dengan orang-orang yang sedang menunggu giliran di-swab dan
yang sedang menunggu hasil tes antigennya. Seorang ibu yang berdiri di dekat
saya terlihat terkejut dan segera menjauh ketika melihat saya terbatuk-batuk.
Oleh karena
riwayat ini, saya tidak bisa vaksinasi sesegera mungkin. Sebenarnya sudah hendak
mencari tempat vaksin terdekat ketika virus corona menginveksi bulan Juli 2021
itu. Sedang dalam masa pemulihan, eh kena lagi di bulan September. Setelah
itu tak bisa secepatnya pergi vaksinasi karena menunggu pemulihan dulu.
Takutnya tubuh saya bereaksi negatif jika belum pulih benar sudah dimasuki
vaksin ke dalam tubuh yang notabene merupakan “benda asing”.
Nah, mengenang
masa-masa vaksinasi setahun lalu dibandingkan sekarang berbeda sekali rupanya.
Waktu itu nakes yang menyuntikkan vaksin mengenakan APD lengkap, termasuk
masker tentunya. Eh, vaksin ketiga (booster) sekarang saya
mendapati nakes yang cuek. Sudah tidak mengenakan APD, tidak mengenakan masker
pula, eh … berani-beraninya melakukan vaksinasi sembari ngobrol dengan
seseorang di ujung sambungan telepon genggamnya sehingga saya merasa ngeri
sendiri. Kalian mengalami jugakah? Atau saya saja?
Makassar, 7 September 2022
Share :
0 Response to "Kisah Vaksin Ketiga"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^