Mengenang 1 Tahun Deraan Covid - Tahun 2021 bagi kami sekeluarga merupakan tahun ter-covid bagi semuanya. Kami bertujuh kena semua, tanpa kecuali dan yang paling mengenaskan, bulan September lalu kedua orang tua saya meninggal dunia setelah terserang covid, hanya selang 2 hari.
Saya merasakan sendiri kejamnya
covid sebagai penyintas. Saya dan kedua orang tua sakit bersamaan tepat setelah
10 hari mengunjungi sebuah tempat. Saya takkan cerita di sini untuk menghindari
hal-hal yang tak diinginkan, terlebih kami sudah mengikhlaskan semuanya.
Saya masih ingat, hari itu hari Jumat, kami bertiga secara bersamaan mencret-mencret lalu secara perlahan mengalami penurunan daya tahan tubuh dan demam. Kami mengonsumi obat demam, obat diare, dan vitamin.
Long story short, kedua orang tua
pelan-pelan membaik namun saya masih harus berjuang lebih keras karena serangan
ini membuat saya benar-benar lemah. Apa yang terjadi dan ending dari
perjuangan kedua orang tua sudah pernah saya ceritakan dalam tulisan-tulisan
ini:
- Covid Bukan Aib Meski Berujung Kematian
- Mau Makanan Surga
- Menjawab Tanya Seputar Kepergian Mereka
- Tanda Tanya Penyangkalan
- Jangan Lakukan Hal Ini kepada yang Sedang Berduka
- Nasi Kuning Terakhir Ibunda dan Harta yang Paling Berharga
Kali ini saya
hendak bercerita tentang apa yang saya pribadi alami.
Baru kali itu saya merasa sakit yang membuat saya tak berdaya. Saya hanya bangun untuk melakukan shalat 5 waktu dan buang air. Selebihnya, saya tidur saja. Untuk makan pun saya tak berdaya padahal selama ini, sesakit apapun saya masih bisa mengupayakan makan sendiri, bahkan masuk sendiri ke ruang makan untuk mengambil makanan, atau ke pergi ke dapur untuk memasak makanan.
Tidak kali
ini. Suami senantiasa mengantarkan makanan sampai ke tempat tidur tapi saya merasa
tak kuasa memegang dan menyuapkan sendiri ke mulut. Rasanya lemah sekali, untuk
menerima telepon dari adik-adik saja saya tak sanggup, saya minta anak-anak
saja yang berbicara kepada tante dan omnya.
Ibu saya
sudah bisa berjalan-jalan di dalam rumah namun saya tak bisa demikian. Usai
salat, rasanya energi terkuras lagi sehingga harus segera berbaring. Usai makan
dalam jumlah sedikit, rasanya harus tidur lagi. Pokoknya tidur dan tidur saja
maunya. Beruntung saya tak mengalami sesak napas. Entah apa yang terjadi kalau
sesak napas juga.
Sempat
terpikir, apakah saya meminta untuk isolasi di hotel atau ke rumah sakit saja
namun saya tak berani. Alasan utama saya adalah saya tak mau membuat ibu saya kepikiran.
Saya tahu sekali beliau, kepanikan dan kecemasannya berlebihan, sering menutupi
logika dan tidak bisa ditenangkan oleh apapun.
Kalau tak
melihat saya di depan matanya, beliau akan cemas dan khawatir luar biasa dan akan
mengakibatkan stabilitas suami dan anak-anak saya bakal terguncang. Toh semua
suplemen/vitamin yang saya konsumsi semuanya luar biasa. Saya juga minum obat.
Dengan izin Allah, saya bisa sembuh – saya meyakini hal itu.
Nyatanya, alhamdulillah
saya sembuh atas izin Allah. Setelah saya sembuh, suami cerita kalau sempat
bertanya-tanya apakah saya bisa selamat atau tidak. Qadarullah, kondisi ayah
saya menurun lagi dikarenakan ada hernia yang membesar. Penyakit ini disembunyi
olehnya selama 2 tahun dan baru diceritakan olehnya kepada adik laki-laki yang
waktu itu baru datang dari Jakarta.
Cerita selengkapnya tersebar di dalam 6 tulisan yang saya share link-ya di atas. Allah berkehendak mengambil kedua orang tua. Tanggal 5 September dini hari ibunda berpulang, usai magrib pada hari yang sama, tim dari puskesmas kelurahan datang ke rumah untuk melakukan tes PCR kepada kami. Ayah tidak dites karena memang hasil tes PCR-nya positif beberapa hari sebelumnya. Dengan nilai CT yang rendah, hanya 16 dan fisik yang belum fit, secara logika sederhana saja – di tanggal 5 itu beliau belum sembuh.
Masya Allah, hasil
tes saya, suami, anak-anak, dan adik laki-laki saya menunjukkan kami negatif
covid. Sampai-sampai ada yang berkomentar begini: “Bisanya di’, negatif
semua ki’.” Maksudnya, kok bisa ya, kami semua negatif sementara kedua
orang tua positif covid. Sewaktu komentar ini sampai di telinga saya, spontan
saya berucap, “Tidak tahu saja kalau kita semua sudah jungkir-balik dengan
covid.”
Makassar, 1 September 2022
Share :
Sabaar, ya, kak...😇
ReplyDeleteHemm kalau ingat covid-19 memang banyak banget kehilangan di saat itu apalagi kalau ada keluarga atau teman yang terinfeksi virus ini. Sempat beli tabung oksigen ternyata, alhamdulillah kalau di sini enggak sampai. Semoga ini bisa jadi pembelajaran buat kedepannya. Terima kasih informasinya!
ReplyDeleteSubhanallah. Baru baca kisahnya mbak. Dewi saat itu masih Blm sanggup membaca lengkap krn pada masa kehilangan suami yg terasa begitu berat. Smg sehat-sehat semua ya mbak.... Alfatihah utk kedua org tua mbak Mugniar❤
ReplyDeleteMaaf Komen Dewi sebelumnya, Blm tertulis namanya. Luv you mbak...
ReplyDelete