Penting tidak penting tulisan Di Balik #IndiHomeBloggerInauguration: Mencari Jalan ini dibuat. Sebagai catatan pribadi bagaimana langkah saya menuju Jakarta dan balik ke Makassar di antara rasa khawatir tersesat berhubung saya bukan orang yang mobile. Maksudnya, di dalam kota saja saya tak banyak keluar rumah, lebih sering beraktivitas dari rumah. Perjalanan September lalu itu merupakan perjalanan pertama saya naik pesawat terbang sendirian.
Mencari Jalan
Pergi
Jujur saja, berhubung jarang keluar rumah, di dalam kota saja saya
berpotensi tersesat apalagi jika jauh dari rumah. Ditambah lagi saya makin
mudah panik dalam kondisi yang tidak jelas. Semuanya harus diantisipasi dengan
baik. Dalam perjalanan, saya orang yang cukup terencana. Sejak sebelum
berangkat, saya sudah memvisualisasikan dengan apa, melalui apa, dan
sebagainya.
Apalagi jika berjalan jauh yang harus naik pesawat terbang yang
dijalani pertama kali sendirian setelah
20 tahun, saya harus menelusuri tahap demi tahap langkah saya sampai keluar
pintu kedatangan bandara tujuan.
Garis besar informasi sudah saya genggam. Belum detail memang tapi
setidaknya sudah ada bayangan apa yang harus saya lakukan. Saya sudah checkin
by website dan pilih seat, sudah mempersiapkan print out tiket
jadi tinggal antre bagasi.
Di pelataran bandara Sultan Hasanuddin, semua penumpang harus scan
QRIS aplikasi Peduli Lindungi
dulu baru boleh masuk. Ada satpam yang mengawasi aplikasi yang terbuka. Saya
sudah booster sebulan sebelumnya.
Masuk di bagian dalam pintu keberangkatan bandara, celingak-celinguk
dulu, melihat orang masuk ke arah mana. Namanya baru pertama kan ke
bandara ini. Bandara yang dulu bukan di sini dan ukurannya lebih kecil.
Ternyata tak sulit menemukan loket untuk antre bagasi.
Berhubung tempat antre bagasinya sama dengan tempat orang checkin,
saya agak lama di bagian ini. Setelah itu, saya bingung hendak ke mana. Saya
mengamati ada bangku-bangku dan mengambil tempat duduk di salah satu bangku
yang letaknya paling dekat dari jalan masuk ke bagian dalam. Di bagian dalam
ada tulisan “Departure”.
Saya tengok jam di HP. Masih ada waktu untuk saya menyempatkan diri
“membuang muatan” ke toilet. Saya kembali duduk di bangku terdekat dari jalan
ke arah departure. Semenit, 2, 3, hingga 10 menit … tak ada pengumuman
apa-apa. Saya meragu lalu jemari bergerak, mencari nomor telepon adik.
“Di sini mi kah ruang tunggu? Di dalam ada tulisan ‘departure’
jadi saya duduk di sini,"tanya saya pada adik. Adik saya juga lupa pada foto keadaan yang saya kirimkan.
“Tadi naik ke ataskah?” tanyanya. “Tidak. Saya tanya mi palek dulu,”
jawab saya. Teringat terus perkataan adik saya yang lain ketika saya bertanya
secara ringkas apa yang harus saya lakukan di bandara, dia menjawab: jangan
malu bertanya.
Saya mengamati di bagian departure. Tak lama kemudian nampak
dua orang bergerak mendekati petugas yang berdiri di sana. Mereka
memperlihatkan sesuatu lalu masuk ke bagian dalam. Ah ya, saya harus
memperlihatkan potongan tiket yang diberikan setelah antre bagasi tadi.
Gegas saya dekati petugas dan memperlihatkan potongan tiket. Bahasa
tubuhnya memperlihatkan ajakan untuk melanjutkan perjalanan. Tapi saya harus
ke mana?
“Saya harus ke mana, Pak?” tanya saya. Petugas itu menunjukkan pintu
yang harus saya masuki di balik tulisan departure itu sembari
mengatakan, “Ikuti saja!”
Ikuti apa? Ya sudah, saya masuk saja ke sana.
Di balik dinding
bertuliskan departure itu ada eskalator naik ke lantai 2. Melalui
pemeriksaan barang-barang yang dijinjing dan bilik pendeteksi tubuh penumpang.
Di ujung atas ada ruangan besar dengan banyak orang dan gerai makanan/minuman.
Lagi-lagi saya bertanya kepada petugas, harus ke mana menuju gate
yang tertera di tiket. Petugas itu menunjuk ke arah gate yang harus
saya datangi. Akhirnya, saya duduk manis di dekat pintu gate 2 menunggu
pengumuman untuk boarding. Alhamdulillah aman.
Dari seat 20F, saya amati pemandangan di balik jendela.
Langit biru dan deretan awan begitu cantik tereplika di dalam file di HP
saya.
Mencari Jalan
Pulang
Perjalanan pulang, di bandara Soekarno-Hatta usaha mencari jalan lebih
besar lagi karena bandara ini jauh lebih luas dibandingkan bandara Sultan
Hasanuddin. Pesawat saya siang, jam 14.30. Oleh panitia, bersama 5 teman blogger
lain (Mbak Henny, Mbak Ulfah, Mas Danan, Mas Aldhi Fajar, dan Mas Aal Arbi) kami diantar
jam 09.30 dari hotel.
Jumat jelang siang itu di bandara, saya bersama Mbak Henny dan Mas Danan mencari makan siang. Kami sama-sama berangkat dari Gate 2 hanya beda pintu maka akhirnya kami jalan sendiri-sendiri.
Saat ngobrol seputar aktivitas blogging yang kami jalani
selama makan, rasanya mendapatkan tambahan semangat baru. Senang bertemu
orang-orang yang seminat dan sama-sama menganggap kompetisi sebagai tantangan
yang menyenangkan, bukan level yang harus dihadapi kemudian dilewati.
Usai makan, pencarian jalan dimulai. Belum apa-apa saya sudah
bingung. Saya harus ke mana? Untungnya di bandara ini mudah menemukan petugas
berseragam. Kepada seorang petugas saya bertanya harus ke mana.
“Ibu lurus, di sana belok kiri, lurus terus sampai mentok. Nanti ada
tangga naik atas di sebelah kanan,” ucap petugas tersebut.
Usai berterima kasih, saya langsung menelusuri petunjuknya. Begitu
belok kiri … alamak ujung yang “lurus terus sampai mentok” itu ujungnya
tak terlihat. Saya masih sempat belok ke salah satu minimarket untuk
membeli kopi kemasan kaleng dan belok ke toilet untuk membuang “muatan negatif”.
Sampai juga di “ujung” yang dituju. Setelah pemeriksaan jinjingan
dan naik eskalator, tiba di ruang tunggu
yang ternyata sangat luas. Eh ketemu dengan teman-teman bloger lain: Mbak Dian,
Mbak Hamim, Mbak Inuel dkk di bagian depan.
“Lho kenapa baru tiba?” tanya Mbak Hamim. Tadi memang lebih duluan
saya yang bergerak ke bandara dibandingkan mereka.
“Ayo makan, Mbak Niar,” ajak Mbak Hamim. Saya menggeleng dan
bertanya, “Cari musola, di mana, ya?”
“Kita sudah shalat tadi, di luar. Kalau di sini tidak ada,”
ujar Mbak Hamim.
Waduh. Saya belum shalat zuhur
sementara jam sudah menunjukkan jelang pukul 14.00. Astaghfirullah, ndak nyadar.
Gate untuk penerbangan saya berada di
bagian paling dalam. Gelisah, mata saya menjelajah, mencari siapa yang bisa
ditanyai hingga menemukan seorang perempuan penjaga sebuah booth makanan
dan minuman ringan.
“Di mana musola, Mbak?” tanya saya.
“Di tiap gate ada, Bu,” ujarnya.
“Oh, di dalam ada, ya?” usai mengucapkan terima kasih saya masuk ke
dalam ruang tunggu.
Bertanya lagi pada petugas, ditunjukkan jalan ke musola yang
terletak di lantai bawah. Alhamdulillah ada toilet berdampingan dengan
musola. Lega sudah mengerjakan kewajiban, jamak shalat zuhur dan ashar.
Andai pun tidak dapat musola, saya masih bisa mengerjakan shalat di atas
pesawat, itu pilihan terakhir – ternyata tak perlu.
Usai mengerjakan shalat baru saya sadari jarum jam sudah
menunjukkan pukul 14.10. Astaga, seharusnya sudah boarding karena
pesawat rencananya take off pukul 14.30. Rasa panik mulai menyerang.
Jangan-jangan orang-orang sepenerbangan saya sudah naik di pesawat?
Saat hendak mengenakan sepatu, berjatuhanlah barang-barang yang sedang
saya pegang. Kadar kegelisahan makin naik. Tiba-tiba terbetik kemungkinan
dipanggil melalui pengeras suara: panggilan kepada Bapak Mugniar Marakarma …
hadeh pasti lucu. Lucu, soalnya di tiket saya tertera nama saya Mr. Mugniar
Marakarma – ada kesalahan ketik dari pihak travel yang mengurusi
perjalanan para blogger ke #IndiHomeBloggerInauguration.
Untungnya, pesawat Batik yang saya tumpangi ditunda keberangkatannya
sekitar setengah jam … aman. Perjalanan ke Makassar berlangsung lancar, alhamdulillah.
Makassar, 19 Oktober 2022
Baca juga:
- Di Balik #IndiHomeBloggerInauguration: Tentang Materi Tulisan
- 8 Alasan Mengapa #IndiHomeBloggerInauguration Menjadi Perjalananku Menembus Batas
Share :
saking lamanya ndak terbang pasti ini, jadinya grogi seperti pertama terbang lagi ya Bun, Alhamdulillah tiba di rumah dengan selamat dan berkumpul kembali dengan keluarga tercinta :)
ReplyDeletesekali lagi selamat Bunda ;)