Bedakan Bercanda, Kekerasan, dan Perundungan, Orang Kampus Wajib Tahu - Film Ranah 3 Warna yang baru saya tonton di aplikasi film kemarin mengingatkan saya pada masa orientasi mahasiswa baru yang saya jalani. Di film itu tokoh Alif Fikri masuk Unpad tahun 1992, sama persis dengan tahun masuk saya di perguruan tinggi, di Fakultas Teknik Unhas. Kerennya, Alif Fikri dan 3 sahabatnya mengadukan tindakan semena-mena senior mereka kepada pihak kampus dan berakibat dihentikannya kegiatan perpeloncoan dari senior.
Orientasi
Mahasiswa Baru Seharusnya Bukan Kekerasan
Yang sezaman
dengan saya pasti tak ada yang bisa melupakan masa orientasi mahasiswa baru
yang diistilahkan dengan OPSPEK itu. Caci-maki, teriakan, ancaman, dan genjotan
fisik jadi makanan sehari-hari. Dimulai sejak usai shalat subuh, dari
pintu 1 kampus harus jalan jongkok, bergantian dengan merayap dan kengkreng
dilakoni hingga masuk ke dalam kampus. Jaraknya sekira 200-300 meter – koreksi jarak kalau salah, ya.
Sebenarnya
tidak melulu siksaan dalam Opspek itu. Ada sejumlah materi yang harus
disimak tetapi boro-boro mendengarkan dengan baik. Saya hanya bisa
menyimak sedikit saja, selebihnya sebisa mungkin dipergunakan untuk
beristirahat meski hanya sesaat, beruntung jika bisa tertidur sebentar.
Jauh setelah
itu baru saya sadari bahwa perpeloncoan semacam itu sebenarnya merupakan bentuk
kekerasan yang seharusnya tidak ada di lingkungan pendidikan tinggi makanya
ketika anak sulung menjadi maba (mahasiswa baru) pada tahun 2019, saya
mengeksplorasi kampusnya guna memastikan tak ada tindak kekerasan apapun selama
dia menjalani masa orientasi mahasiswa baru.
Beruntung
yang saya alami tidak sampai fatal. Di fakultas kami, tak
ada senior laki-laki yang bisa menyentuh mahasiswi baru, berbeda halnya di
tempat lain. Mengerikannya saya pernah mendengar ada tindakan pelecehan seksual
bahkan kekerasan seksual di suatu kampus di kota lain pada masa orientasi
mabanya.
Saya bahkan
bisa memetik hal positif dari Opspek, yaitu tumbuhnya rasa percaya diri
bahwa saya sanggup menjalani proses perkuliahan di Fakultas Teknik yang ternyata memang
membutuhkan stamina yang lebih baik dibandingkan saat SMA, disamping ketekunan
dalam menjalani proses belajar.
Minimal saya
bisa membuktikan pada diri sendiri bahwa saya tidaklah lemah mengingat sebagian
orang beranggapan saya makhluk lemah yang pantas dikasihani 😅. Salah seorang teman bahkan
pernah nyeletuk seperti ini: “Niar masuk Teknik? Bisa ikut Opspek? Dia pe’lo!”
– maksudnya saya ini anaknya lemahnya kebangetan, masa sih sanggup ikut
perpelocoan di fakultas Teknik yang keras.
Receh ya saya? Padahal pelaksanaan Opspek, di luar materi yang diberikan sebenarnya termasuk tindakan kekerasan.
Penjelasan terkait ini, secara lugas melalui
pelatihan Ibu Penggerak dan Training
of Trainer Fasilitator Ibu Penggerak yang saya
ikuti Oktober dan November lalu, dijelaskan bahwa:
kata kunci yang bisa menandai suatu tindakan sebagai bentuk kekerasan adalah adanya paksaan dari satu (atau lebih pihak) terhadap pihak lain dalam suatu perbuatan, yang bertujuan untuk memiliki kuasa atas pihak yang dipaksa.
Sisi
Lain dari Kegiatan Praktikum di Laboratorium
Bukan hanya
perpeloncoan maba, ada satu kegiatan wajib dalam perkuliahan yang jika tak
diwaspadai bisa menjadi sarana kekerasan psikis, bahkan bullying (perundungan)
yang dilakukan senior (dalam hal
ini asisten laboratorium) kepada yunior (yang jadi praktikan di laboratorium),
yaitu PRAKTIKUM. Anak jurusan eksakta pasti melaluinya.
Di zaman dulu,
bukan rahasia lagi jika laboratorium menjadi tempat senior pedekate yunior
yang menjadi gebetannya. Mungkin masih sampai sekarang ya?
Pada reuni
3 Dekade Angkatan 92 FT Unhas bulan Mei tahun lalu, saya ikut
berbagi cerita saya dan teman-teman perempuan di laboratorium semasa masih
kuliah di depan teman-teman seangkatan saat tiba acara bercerita. Teman-teman
lain bercerita hal seru dan lucu selama kuliah, saya malah menceritakan kisah
ini.
Kisah-kisah
tentang kesulitan yang dialami mahasiswi di laboratorium dalam menghadapi
senior yang mengikutkan perasaan ataupun yang jail. Ada yang berlangsung
satu kali, ada yang berlangsung berulang kali.
Yang
berlangsung satu kali namanya kekerasan jika ada bentuk “pemaksaan”. Sedangkan
yang berlangsung berulang kali dan ada unsur kekerasannya disebut PERUNDUNGAN. Dalam
tulisan berjudul Ketika
Anak Mengalami Perundungan Inilah yang Bisa Orang Tua Lakukan saya
menyebutkan definisi perundungan yang bersumber dari American Psychological
Association (2022), sebagai berikut:
perilaku agresif menyerang, mengganggu, mengusik, mengucilkan, menindas, atau menyusahkan yang dilakukan secara sengaja dan terus menerus oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat atau lebih berkuasa terhadap orang atau kelompok lain dengan tujuan untuk menyakiti dan menimbulkan rasa tidak berdaya, dan berpotensi berulang.
Bersyukur,
saya dan teman-teman tidak sampai mengalami hal yang merugikan, hanya
MENYUSAHKAN, terganggu, terusik, dan MENIMBULKAN RASA TIDAK BERDAYA “saja”
karena telah dikerjain di laboratorium.
Bentuk dikerjain
bisa berupa memberi pertanyaan yang banyak sebelum masuk laboratorium. Satu
saja yang tak dijawab, dinyatakan batal (tidak berhak masuk laboratorium)
padahal jauh lebih banyak pertanyaan yang dijawab.
Atau suasana
diatur sehingga seringnya dapat asisten yang itu. Sebagai asisten, do’i
membimbing pada satu kesempatan dan pada kesempatan lain menggunakan kesempatan
itu untuk pedekate (pendekatan) yang membuat si mahasiswi tidak merasa
nyaman karena harus merasakan impact “betapa berkuasanya” atau betapa
hebatnya dia.
Well, saya
baru bisa cerita hal ini sebagai HAL YANG SAMA SEKALI TIDAK BAIK setelah
mendapatkan argumen yang kuat bahwa hal tersebut tidaklah baik. Masih
beruntung tidak sampai dirugikan yang berat-berat, hanya sempat membuat
beberapa di antara kami menangis saja. Meskipun demikian saya yakin
jika para senior ini sama seperti saya yang tak rela anaknya mengalami apa yang
kami alami dulu. 🙄
Wahai
Orang Dewasa, Hentikan Penindasan
Dalam acara reuni tempo hari,
saya meminta kepada teman-teman yang berprofesi sebagai dosen, jika mendapai
ada hal-hal semacam itu terjadi di laboratorium di kampusnya, please HENTIKAN.
Saya
sampaikan juga, jangan sampai anak-anak lelaki dari teman-teman merasa berhak “menindas”
atau menunjukkan kekuasaan seperti itu kepada praktikan perempuan di
laboratorium atas nama pembuktian cinta yang salah kaprah. Atau kalau ada anak
perempuan mereka yang mengalami hal seperti itu, bela dia.
Satu hal yang
saya lupa sampaikan: bertobatlah jika pernah sok berkuasa pada yunior
perempuan di laboratorium dan segera minta maaf pada praktikan yang dikerjain. 😄
Sebuah cerita
serupa sampai kepada saya. Senior cowok – sang asisten laboratorium naksir praktikan
cewek. Ketika dia menyatakan cintanya, si mahasiswi yang sudah eneg mencoba
berkelit dan menyebut nama sahabatnya – teman cowok seangkatan, “Coba tanya A,
Kak. Kalau dia bilang iya, berarti iya. Kalau dia bilang tidak, berarti tidak.”
Alhasil, A yang dapat sial – dia dimusuhi dan diberi nilai sangat jelek oleh
asisten yang sakit hati.
Di fakultas
eksakta lain, seorang mahasiswi yang merasa diperlakukan tak adil oleh bersumpah, “Awas saja kalau saya jadi
asistenmu!” Waktu pun berjalan, si mahasiswi ini mampu mengejar pencapaian akademik
si cowok bahkan menjadi asisten di sebuah laboratorium di mana si cowok menjadi
praktikan. Situasi kontan berbalik. Si cewek berkata padanya, “Jangan harap
lulus selama saya masih jadi asisten di sini!” TETOT … balas dendam pun
berlangsung.
Mungkin itu
yang namanya “karma instan”. Secepat itu dia terima hukumannya. Kalau dalam
Islam, sih sebenarnya tidak ada hukum karma tetapi suatu dosa itu ada
yang Allah beri sanksi/peringatan di dunia dan ada yang di akhirat. Perbuatan
tak elok pasti akan menuai hukuman yang sesuai!
Jadi ingat
sama seniorita yang galaknya bukan main ketika Opspek. Saat menjalani tes di
sebuah perusahaan ada dia juga ikut tes bersama saya. Hadeh ... yang bikin
gaya dulu itu apa ya kalau sama-sama ikut tes sebagai fresh graduate.
Bercanda
Itu Sama-Sama Senang, Kalau Situ Saja yang Senang yang Lainnya Tidak, Itu
Namanya KEKERASAN!
Saya tuh tak
habis pikir, mengapa ada saja orang yang memanfaatkan “kekuasaan” yang hanya
seumur jagung usianya karena keadaan bisa saja berbalik. Apapun bisa terjadi,
termasuk di dunia kerja, orang yang dahulu kau gencet menjadi atasanmu. Dalam
dunia profesional atau dunia kerja yang membutuhkan networking, senior
itu bisa jadi yunior. Tak ada yang abadi di dunia ini, kawan!
Saya jadi mikir,
dulu itu apakah “sikap sok” yang berlindung di balik kata “iseng” atau “jail”
itu dianggap BERCANDA kali ya?
Beda dong.
Bercanda itu ibarat jual-beli yang ada hukum “suka sama suka atau sama-sama
puas”. Sedangkan perundungan yang bermula dari kekerasan itu:
Pelaku menggunakan kekuatan/kekuasaan mereka (misalnya fisik, popularitas) untuk mengontrol, merendahkan, menyakiti, atau mengucilkan orang lain. Selain itu aksi yang dilakukan pelaku terjadi lebih dari sekali atau memiliki kecenderungan untuk diulangi lebih dari sekali oleh orang-orang yang sama (sumber: ToT Fasilitator Ibu Penggerak Sidina Community).
Yeah, kekuasaan
membuat orang merasa di atas angin walau hanya sementara saja di atas anginnya
…
Hal lain yang
membedakan bercanda dan tindak kekerasan adalah, pada tindak kekerasan pelaku
menggunakan kekuatan/kekuasaan mereka (misalnya fisik, popularitas)
untuk mengontrol, merendahkan, menyakiti, atau mengucilkan orang lain.
By the way, ada loh yang
namanya TIPOLOGI KEKERASAN yang menyebutkan bentuk-bentuk
kekerasan itu ada 4 macam: fisik, seksual, psikologis, dan
pengabaian/penelantaran. Kekerasan itu bisa dilakukan oleh diri sendiri (kepada
diri sendiri) dalam bentuk menyakiti diri sendiri (seperti upaya bunuh diri
atau melukai diri sendiri), bisa dilakukan antar individu dalam keluarga atau
pasangan atau komunitas (baik dikenal maupun tidak), dan bisa juga dilakukan
oleh kelompok (sosial, politik, atau ekonomi) kepada orang atau kelompok lain[1].
Nah, tindak
kekerasan di sekitar kita banyak juga terjadi dalam bentuk 3 hal ini: intoleransi,
perundungan, dan kekerasan seksual. Ketiga hal ini dalam dunia
pendidikan saat ini dikenal dengan nama 3 DOSA BESAR yang sedang
diupayakan pencegahan dan penanganannya dalam satuan pendidikan.
Cara
Menghentikan Kekerasan
Sebagaimana
aksi intoleransi dan kekerasan seksual, banyak orang yang tak melaporkan aksi
perundungan karena takut atau malu. Argumen “cuma bercanda”, “cuma
main-main”, atau “namanya juga anak-anak” yang banyak dilontarkan menjadi
halangan tersendiri.
Kalau tak ada
sosialisasi definisi khusus dari bentuk-bentuk kekerasan dan gerakan
melawannya, banyak yang tidak menganggapnya penting padahal luka psikologis
pada korban dampaknya tidak bagus dan bisa panjang akibatnya.
Orang-orang
yang meremehkan, yang menganggap tindak kekerasan sebagai sesuatu yang biasa
mungkin belum mendapatkan pengetahuan maka perlu menyampaikan pengetahuan bahwa
segala bentuk tindak kekerasan tidak dapat dibenarkan.
Tulisan ini
saya buat dengan maksud menyebarluaskan pengetahuan tersebut. Sederhananya,
kita bisa melakukan 3 hal ini terkait kekerasan:
1.
Tidak melakukan kekerasan.
Jangan sampai
kita ikut menjadi pelaku kekerasan atau orang yang melanggengkan kekerasan.
Jangan lagi secara gampang memiliki anggapan “cuma bercanda” untuk tindakan
yang tidak disenangi orang lain.
2.
Membantu korban kekerasan tanpa menghakimi.
Jangan
menyepelekan apa yang diceritakan orang lain terkait kondisinya ketika menerima
tindak kekerasan, bagaimana pun bentuknya. Jadilah pendengar yang baik dengan
membiarkan korban bercerita sampai tuntas dan membantu mencarikan solusi.
Jangan menghina kewarasannya dengan kata-kata: “Ah, kamu saja yang baperan.”
Coba cek dan eksplorasi dulu definisi dan segala unsur dan bentuk kekerasan
untuk mengusut kasus yang diceritakannya padamu.
3.
Mencari dan menyebarkan informasi sebanyak-banyaknya.
Jika datang
informasi yang benar, upayakan untuk menyebarluaskannya sehingga banyak orang
yang mendapatkan pencerahan.
Lalu
bagaimana jika korban membutuhkan solusi, apa yang harus dilakukan? Gambarannya
bisa diperoleh dari tulisan saya yang berjudul Ketika
Anak Mengalami Perundungan Inilah yang Bisa Orang Tua Lakukan.
Well, jika di masa
lalu pernah menjadi korban, semoga cukup itu saja sudah. Semoga kita beserta
anak dan cucu semua terhindar dari segala bentuk kekerasan.
Makassar, 20 Januari 2023
Keterangan:
Referensi tulisan berasal dari: Sidina Community (IG: @sidina.community), Kemendikbudristek, dan Puspeka, Cerdas Berkarakter.
Baca juga:
- Rizka: Lawan Bullying dan Mendunia Melalui Komik
- Speak up: 4 Hal yang Mendukung Penyelesaian Kasus Perundungan
- Melawan Pedih, Mengatasi Bullying
[1] Sumber: Krug, E. G., Mercy, J. A., Dahlberg, L. L., & Zwi, A.
B. (2002). The world report on violence and health. The lancet, 360(9339),
1083-1088.
Share :
Ospek zaman dulu itu gak masuk akal, memang isinya dikerjain dengan tugas-tugas aneh yang enggak nyambung dengan perkuliahan.
ReplyDeleteKalau di zaman sekarang apa masih relevan? Terakhir lihat ospek keponakan di FK masa pandemi jadinya ya via online. Intinya harus open cam, ikut zoom, mengerjakan tugas tentang perkenalan dan motivasi kuliah di sana. Menurutku masih OK sih.
Jadi teringat banyaknya pr dunia pendidikan ini ya kak. Kalo di kampus, bukan cuma senior saja. Konon dosen yang merasa berkuasa pun tak takut melakukan pelecehan kepada mahasiswi. Ada yang minta dicium biar kelar urusan akademiknya. Ketika mahasiswi melapor je institusi kepolisian, mirisnya malah dikomentari "baru dicium aja.. Kan belum diapa-apain"
ReplyDeleteYa Allah itu yang ngomong perempuan loh. Apakah dia rela anaknya dicium orang lain?
Hhhh lelah
Perploncoan ini memang membekas di ingatan ya. Apalagi yang paling sering diganggu, bisa jadi kedepaannya jadi minder buat bersosialisasi. Beruntung kalau misalkan teman-teman melindungi seperti yang ada di video, biasanya malah ikut tertawa dan merasa beruntung karena bukan dirinya. Lebih suka zaman baheula ya, penataran P4.
ReplyDeleteWih ngeri banget ternyata. Dulu aku kira jadi anak kuliahan itu enak-enak.
ReplyDeleteKalau ada perundungan memang sebaiknya harus dilaporkan dan membantu korban lainnya untuk buka suara terhadap kezhaliman yang dialami nya
wah serem kalau urusannya sudah berbalas dendam.. sampai nilai jadi taruhannya karena permasalahan pribadi..
ReplyDeleteapalagi kalau dengar/lihat berita ada nyawa melayang gegara perpeloncoan .. duh,rasanya sedih dan miris banget. semoga 2023 dan seterusnya kampus-kampus di Indonesia khususnya sudah benar-benar bebas perundungan
Inget masa2 ospek dulu. Ada2 aja. Disuruh Dateng subuh2. Jarak sm sholat 5 menit aja Sdh diteriakin telat2. Disuruh macem2 sampe sore. Sampe dikerjain jg. Dulu diteriakin masih baru masuk kuliah aja udah kayak emak2 anak 5. Sampe skrg msh inget siapa yg ngomong. Andai bs ketemu skrg. Wkwk
ReplyDeleteIya kadang orang ga bisa bedain becanda tapi jatuhnya ngebully karena candaannya ledekan. Dan udah ga jaman lagi sekarang maba di plonco. Seneng pas penerimaan mahasiswa baru di bbrp perguruan tinggi mulai diisi publik figure dan inspiratif spt Najwa Shihab dll
ReplyDeleteJadi terkenang ospek dulu waktu masuk kuliah. Satu angkatan dihukum karena nggak ada satupun yang bisa mendapatkan 10 nyamuk hidup, 5 betina dan 5 jantan. Ya mustahil banget kan tugasnya. Terlepas dari tugas-tugas yang aneh, sebetulnya ospek itu menggembleng mental dan bikin satu angkatan solid. Tetapi ya kekurangannya memang banyak senior yang niatnya balas dendam. Apalagi kalau sampai mengambil nyawa mahasiswa, duh itu udah salah banget.
ReplyDeleteMungkin memang zamannya sudah berubah ya mbak, sekarang udah nggak bisa model ospek kaya dulu lagi. Kita pun juga semakin aware dengan masalah kekerasan dan perundungan.
Baca ini jadi teringat masa-masa plonco tahun 1986, di kampusku Universitas Mulawarma Gunung Kelua Samarinda.
ReplyDeleteTapi untunglah kami yang perempuan tidak ada yang mendapat perlakuan tidak senonoh dari senior.
Semuanya masih terkontrol.
Namun karena maraknya kasus negatif akibat plonco, akhirnya aktivitas ini pun ditiadakan diganti dengan aktivitas penghijauan maba di beberapa hutan koleksi Unmul Samarinda.
Teman aku kuliah baru masuk dulu ospeknya sangat mengerikan dan itu aku jalani dengan banyak sekali rintangan tapi semakin lama aku jadi panitia Ospek dan tidak menerapkan fisik yang penuh kekerasan itu lagi
ReplyDeleteBerarti dulu apa yang aku alami saat entah itu ospek atau MOS sedikit banyak juga mengandung kekerasan dan bullying. Thats why aku nggak pernah tertarik jadi panitia keduanya apalagi di bagian yang meneriaki. Semoga makin ke sini, semakin sedikit atau malah nggak ada institusi pendidikan yang menerapkan orientasi atau pengenalan kayak gitu ya. Emang nggak lucu sih jadinya. Apalagi siswa/i yang kelihatannya lain dari yang lain suka jadi bulan-bulanan.
ReplyDeleteWaduh kok serem banget ya. Alhamdulillah orientasi di kampusku ga kayak gitu. Bahkan aq yg saat itu lagi pemulihan pasca operasi tangan habis tabrakan bnr2 dibantu sama panitia, ditanya ada kesulitan ga, dll. Selama praktikum ppas lulia juga sama. Malah kita cs an sama asisten lab atau seniornya
ReplyDeleteDapet masukan banyak sekali mengenai perundungan ini dari tulisan kak Niar.
ReplyDeleteSungguh aku kadang gak habis pikir dengan anak sekarang yang katanya merupakan generasi strawberry.
Tapi aku gak bisa menyalahkan bahwa anak sekarang maunya serba cepat dan instan sehingga kurang menghargai proses. Bisa jadi karena karakternya begini, jadi mudah saja meremehkan dan memperlakukan orang lain dengan semena-mena. Lupa bahwa sikap mereka tidak disukai dan tidak nyaman bagi orang lain.
jadi ingat saya waktu masuk kuliah dulu pas banget kasus korban ospek stpdn itu naik daun akhirnya pas angkatan saya ospek ditiadakan. jadi saya tidak merasakan bagian dari kekerasan saat ospek cuma jadinya kami sempat jadi angkatan yang nggak dianggap sama senior karena nggak pakai ospek. heu. saya nggak tahu nih kalau sekarang masih ada nggak sih mbak ospek ini?
ReplyDeleteBenar-benar ya bahwa bercanda itu tak sesederhana yang kita duga
ReplyDeleteKalau sama sama senang artinya memang tak masalah
Tapi kalau salah satu merasa disakiti atau tidak enak, itu kekerasan dan kekerasan pun ada levelnya
Di drama Korea juga perundungan tuh banyak keluar sebagai cerita yang terbaru the glory. Aku sendiri dulu paling kena perundungan soal nama yang beda selalu diplesetin ke yang lain. Sempat sebal, selama SD 6 tahun itu ak mendapatkan panggilan bukan namaku huhu.
ReplyDeleteYang saat ini aku sedang tekankan di rumah supaya anak2 bisa menjaga diri dan tidak menjadi korban bullying, apalagi pelaku, itu selalu berulang-ulang bilang ke anak2 kalau becanda itu dua duanya senang, kalau sudah ada satu yang gak senang atau gak suka, tandanya harus berhenti.
ReplyDeleteKalau aku ospeknya gak ada kekerasan apalagi perundungan karena memang sekolah swasta yang muridnya masih dikit banget. Malahan sama kating pada dekat. Kalau di universitas besar memang masih ada, padahal kekerasan dan perundungan itu sangat merugikan. Semoga saat ini gak ada lagi ya, Mba. Dan, menurutku pihak kampus juga harus ikut andil dengan memberikan edukasi juga kepada panitia ospek.
ReplyDeleteSebenarnya aku nggak terlalu nyaman dengan senioritas begini di kampus, Bun. Sebab kita sama sama ada dalam lingkup belajar, dan senior nggak selalu lebih banyak tahu dibanding junior, walau sudah lebih dulu jadi mahasiswa. Bersyukur di masa perkuliahanku, budaya ospek keras perlahan-lahan dikikis jadi seseruan sih, Bun. Masih ada sih barang bawaan aneh aneh seperti pita khusus buat dijadikan dasi faskultas, baris berbaris, tapi sudah cenderung nggak kelewat keras kalau di kampusku dulu. Sayang sekali kalau masih ada budaya tegaan begini di jaman sekarang. Katanya berkuliah biar jadi makin terdidik, tapi kok seperti kurang berbudi baik aja kalau masih ada tindak kekerasan di ospek begini.
ReplyDeleteSetujuu tolong hentikan penindasan apalagi jaman sekarang memonitoring anak juga gampang gampang susah.
ReplyDeleteSaya juga gak suka ospek mba.
ReplyDeleteDulu pas masuk kuliah, itulah tahun pertama yang ospek ditiadakan di hampir semua kampus gegara insiden meninggalnya anak itb gegara diospek senior di tahun sebelumnya.
Tapi temen-temen seangkatan saya malah mau diospek diem-diem sama senior, karena kata mereka kalo gada ospek jadi ga berkesan.
Kalo saya, gak sudi diospek. Kalo baris baris saya ok aja. Tapi disuruh pake pete dan sejenis serasa membodohkan diri sendiri
Di kampus saya dulu memang untuk anak perempuan tidak banyak bully fisik tapi bully verbal yg kata2nya menyakitkan, tapi kalau yg anak laki dibully keduanya. Percuma sih dulu lapor dekan, mereka malah ketawa aja dilaporin, kayak anak SD aja main lapor katanya, huhu 😥
ReplyDeleteMemang mesti dibedakan antara bercanda, kekerasan dan perundungan..apalagi saat kegiatan kampus. Karena sampai hari ini, masih ada saja korban berjatuhan.
ReplyDeleteKalau saya dulu termasuk yang enggak kejam ospeknya, tapi teteup diminta itu ini sih sama panitia