Sanrobengi di Ujung Juli – “Diana, kalau mau pergi saya mau jadi follower-nya Diana, seperti biasa nah. Boleh 🤭?” saya mengirim WhatsApp kepada Nurdiana, teman sekelas semasa SMA. Tanggal 30 Juli lalu ada agenda reuni teman-teman sekelas di rumah makan Sanrobengi, di wilayah Galesong, Kabupaten Takalar. Biasanya kalau ada acara ngumpul kelas Fisika 2 SMAN 2 Makassar angkatan 92, saya ikut di mobilnya Diana karena biasanya Diana melewati Rappocini ke tempat tujuan.
Diana mengiyakan maka kami janjian lagi di tempat biasa. Jarak Rumah Makan Sanrobengi dengan rumah saya sekitar 26 km. Kami menjemput Yerni yang arahnya sejalan dengan jalan Metro Tanjung Bunga dan jalan Poros Galesong Utara, jalur yang dilalui menuju ke Rumah Makan Sanrobengi.
Waktu tempuh satu jam
tidak begitu terasa bagi saya, mungkin juga bagi kedua sobat saya. Ada saja
bahan percakapan kami sepanjang perjalanan. Tidak ada waktu berdiam diri, pasti
ada saja yang diobrolkan seputar masa lalu ataupun masa kini. Sungguh obrolan
yang menyenangkan. Terasa bagaimana kami sama-sama tumbuh mendewasa eh menua
dan sudah meninggalkan pola pikir kanak-kanak ...
Kecuali untuk urusan
foto-foto. 😂
Makan-makan
Lalu Foto-foto
Kami menikmati makanan sehat berupa
ikan-ikanan dan sea food lainnya di Rumah Makan Sanrobengi. Masya Allah,
berterima kasih sekali kepada Dokter Ifa Tunisya dan suaminya – Kak Budi Sabir
yang sudah mengundang kami makan makanan serba lezat di sana.
Tempatnya sederhana tetapi sajiannya lezat
semua, tak ada yang setengah-setengah rasanya, baik itu ikan bakar,
ikan goreng, palumara, berikut sambalnya … sedap semua! Tak lengkap pula acara ngumpul
tanpa kue-kue yang ukuran dan rasanya versi premium dari Kedai Bunana. Puas makan ikan, puas juga makan kue.
Pemandangan di belakang rumah makan indah dan
unik. Pantai selalu punya daya tarik tersendiri yang tak bisa saya lukiskan
walaupun sebenarnya pemandangannya standard-standard saja karena saya sudah
terbiasa melihat Pantai Losari sejak kecil. Di bagian belakang Rumah Makan
Sanrobengi ini uniknya, terdapat cukup banyak perahu nelayan berjajar.
Perahu-perahu itu modelnya serupa perahu sandeq. Perahu sandeq adalah manifestasi
kearifan lokal suku Mandar (suku asli di Sulawesi Barat) dalam mengarungi
lautan. Sandeq bergerak tanpa mesin, bentuknya ramping dengan mengandalkan
layar dan kecepatan angin dalam mengarungi lautan namun perahu yang di pesisir
Galesong ini mengandalkan mesin sebagai tenaga penggeraknya.
Tak ada sungkannya mamak-mamak yang rata-rata jelita (jelang lima puluh tahun) usianya ini berpose dekat perahu-perahu yang sedang ditambatkan di bibir pantai. Tidak hanya mamak-mamak, ada bapak-bapak juga.
Entah apa yang ada di benak anak-anak muda –
para mahasiswa KKN yang juga ada di rumah makan melihat kami semua bergaya di
tengah sengitnya curahan sinar matahari siang itu.
Fanasnyaa masya Allah … saya hanya membuka masker ketika
berfoto. Setelah itu, saya pakai masker lagi. Membaca bagian ini, sepertinya
ada yang bilang, koq mau? Ya iyalah, kan kami harus pulang secepatnya.
Sebelum ashar sudah harus balik lagi ke rumah masing-masing yang jaraknya
sekitar 20-an km maka waktu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin saat sesi dokumentasi.
`
Sanrobengi
“Mau ke Pulau Sanrobengi?” tiba-tiba muncul
ide untuk menyeberang ke pulau yang terlihat di seberang. Entah siapa yang lebih
dulu melontarkan ide ini lalu dikuatkan oleh yang lainnya. Saya ikut saja
walaupun sempat meragu, khawatir kalau-kalau mabuk laut karena berdasarkan
pengalaman yang lalu-lalu saya langganan mabuk perjalanan baik darat, laut, dan
udara.
Sebenarnya sudah membaik sih “kebiasaan”
yang tidak baik itu, terbukti perjalanan naik pesawat setelah 20 tahun pada bulan September, lalu pada November 2022 lalu saya tidak semabuk
dulu. Sebenarnya masih ada perasaan tidak nyaman sih namun alhamdulillah
bisa teratasi.
Nah, itu perjalanan udara, untuk perjalanan laut belum
ketahuan bagaimana, penyeberangan ke Sanrobengi ini merupakan perjalanan laut
pertama saya setelah 23 tahun. Terakhir kali saya naik kapal laut tahun 2000,
dari Makassar menuju Jakarta.
Sempat terpikir, tinggal saja di Rumah Makan
Sanrobengi menunggu mereka tetapi secepatnya menyadari lagi bahwa perjalanan
seperti ini takkan terulang lagi. Kenapa tidak dicoba saja, toh perjalanan
menyeberangi selat Makassar hanya sebentar.
Ini pengalaman baru. Karena tidak naik dari Dermaga
Boddia maka sepatu dan kaos kaki sudah harus dibuka sekitar 10 meter dari perahu
berlabuh. Pengemudi kapal memegangi kapal ketika kami – 6 orang dewasa dan 2
anak kecil naik ke atas kapal.
Laut sedang tenang. Angin yang berembus terasa
menyegarkan tubuh dan menetralisir cuaca panas saat itu. Bagian atas perahu
ditutupi terpal yang melindungi kami dari paparan langsung sinar matahari. Alhamdulillah
kekhawatiran mabuk laut tidak terjadi.
Hanya sebentar, tujuh menit saja kami tiba di
Pulau Sanrobengi. Sama seperti sebelumnya, kami belum bisa langsung mengenakan
sepatu saat tiba karena tidak ada dermaga. Ketinggian air di tempat turun dari
perahu kira-kira 4 jari di atas mata kaki. Masih harus berjalan kaki sekitar 6
meter sebelum mengenakan sepatu kembali.
Gusung Sanrobengi atau Pulau Sanrobengi adalah sebuah pulau kecil yang berada di gugusan Kepulauan Spermonde, perairan Selat Makassar yang secara administratif masuk wilayah Desa Boddia, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, Indonesia (Wikipedia)[1].
Air laut di sekitar perahu terlihat sangat jernih.
Kami masih harus berjalan kaki sekitar 100 meter menuju dipan kayu yang berada
di sisi selatan Pulau Sanrobengi untuk beristirahat sejenak. Ada beberapa dipan
di situ, sebagian sudah ditempati sejumlah orang yang kelihatannya sedang
berwisata juga seperti kami.
Ada 6 kepala keluarga yang menghuni pulau yang
belum dialiri listrik ini. Pada malam hari, penduduk mendapatkan penerangan
dari genset. Mereka menempati rumah-rumah yang terbuat dari
kayu. Dari dipan di sisi selatan pulau, kami menelusuri pulau dari arah timur
ke barat. Lalu berjalan ke arah selatan, menyusuri alur jalan setapak untuk
memutar kembali ke arah timur untuk kembali ke dipan tempat kami duduk
sebelumnya.
Kami melewati rumah-rumah penduduk. Ketika melewati
sebuah toilet dekat rumah penduduk yang pintunya terbuka, menguar aroma pesing.
Separuh jalan yang kami lewati terlihat seperti hutan. Masih banyak pohon
berukuran tinggi. Suara serangga khas pepohonan tinggi terdengar sahut-sahutan.
Terlihat beberapa bangunan kecil terbengkalai dan ada sampah yang tidak dibuang
di tempat yang semestinya.
Saya membayangkan pulau ini ditata lebih baik
lagi, pasti akan menjadi tempat wisata yang sangat menyenangkan. Tentunya harus
diperhatikan dengan sangat serius mengenai pengelolaan sampah, listrik yang bisa menjamin kenyamanan wisatawan, dan menerapkan
prinsip ekonomi sirkular.
Sebaliknya, kenyamanan penduduk sebagai tuan
rumah juga harus dipertimbangkan. Jangan sampai terlalu banyak wisatawan
membuat mereka merasa tidak nyaman di kampung sendiri. Saya mencatat moment rekreasi
ini pada 13 Agustus 2023. Semoga 5 tahun ke depan sudah ada perbaikan yang
signifikan bagi pariwisata Pulau Sanrobengi dan bisa makin meningkatkan taraf
hidup warganya.
Makassar 13
Agustus 2023
[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Sanrobengi
Share :
Baca ini saya kangen makan seafood di Makasar 😄🤤. Ga pernah Nemu yg ga enak. Semua segar, ikannya ga amis, dan sambalnya sedap.
ReplyDeleteDi antara semua moda transportasi, akh juga paling mikir2 kalj naik kapal atau boat mba. Takuuut. Kalo ga ada pilihan lain ya mau ga mau. Tapi berasa banget goncangannya dan selalu kuatir kalo sampe kebalik atau tenggelam 😵💫. Aku ga bisa berenang juga 😅
Kapan-kapan kalau ke Makassar, bisa coba ke rumah makan Sanrobengi, Mbak Fan :)
DeleteNah, untungnya sewaktu kami menyeberang laut lagi tenang, Mbak Fan ... saya pun tidak bisa berenang ... alhamdulillah lancar2 saja perjalanan tempo hari itu :D :D :D