Opinimu, Perasaanku – Jika kalian membaca tulisan saya yang berjudul Temanmu Sepertinya Bukan Temanku – mungkin kalian tahu walau tanpa saya tuliskan bahwa efek keadaan seperti dalam tulisan itu menimbulkan KECANGGUNGAN atau bahkan mungkin ada yang dijauhi karena salah satu pihak merasa tidak nyaman.
Bisa jadi ada orang yang
ternyata berkonflik hebat dengan teman kita sementara kita hubungannya
baik-baik saja dengan teman tersebut dan kita pun ikut dijauhi oleh orang ini
maka kemungkinan menjalin network baru pun pupus.
Jangan bilang orang yang menjauh itu lebay sebab dia hanya ingin menciptakan circle yang nyaman dan kondusif. Jika masalahnya dengan teman kita berupa masalah kepercayaan atau pengkhianatan, tentunya dia akan mewaspadai teman dari orang yang berkonflik dengannya. Memang hubungan kita dengan teman baik-baik saja namun pada kenyataannya teman kita telah menyakiti perasaan orang itu.
Saya teringat dua
peristiwa serupa terkait pengalaman negatif yang bisa diistilahkan dengan
“opinimu, perasaanku”. Dua hal yang sebenarnya tidak ada hubungannya rupanya
bisa menjadi pemicu suatu hal yang menyakitkan.
Ceritanya begini, saya
membuat status di media sosial tentang suatu keadaan di masa lalu yang saya
rindukan. Eh, ada yang berkomentar negatif padahal saya tidak
menyinggung siapapun karena hanya curhat tentang keadaan seperti dulu itu.
Rasanya tidak ada
kata-kata yang membanggakan rezim kala itu tetapi respon yang saya dapat
menggambarkan tentang sakit hati yang dialaminya saat rezim di zaman itu
berkuasa. Saya merasa dimarahi olehnya. Di sini saya cuma bengong … kok
bisa ya, status netral jadi pemicu kemarahan seseorang muncul?
Di lain waktu, saya buat
status tentang pengalaman dengan customer service di dunia maya. Ada
pengalaman yang kurang enak dan pengalaman yang menyenangkan.
Sekonyong-konyong, seseorang yang tidak saya kenal berkomentar dengan julid.
Dia terlihat seperti membela diri atau entah membela siapa yang sama sekali
tidak ada hubungan sama sekali dengan status saya, apalagi dengan saya.
Bukan hanya itu, dia
menyerang saya padahal status saya tidak menyerang siapapun, apalagi menyerang
dirinya. Buktinya beberapa yang juga berkomentar wajar-wajar saja komentarnya,
netral-netral saja.
Saya bukannya selalu benar
atau tidak pernah salah. Saya juga pernah tersalah dalam membuat status di
media sosial. Saya tidak berpikir panjang dan kehilangan akal sehat ketika
membuat status itu namun untuk dua hal yang saya ceritakan di sini, saya
membuatnya dengan akal pikiran yang sehat, tidak ada kontaminasi emosi negatif di
dalamnya. Anehnya, mengapa ada orang-orang yang menanggapinya negatif?
Jawaban paling masuk akal
adalah karena dihubungkan dengan dirinya. Satu kata atau satu kalimat dalam status saya menjadi “jangkar”
dengan pengalaman buruk dirinya. Sungguh rasanya tidak enak mendapat komentar
negatif dan diomel-omeli … tapi … masalahnya kan bukan dari saya?
Masalahnya ada pada persepsi yang berkomentar itu.
Kesimpulannya, dalam
bermedia sosial memang harus siap menghadapi komentar apapun. Walaupun kita posting
sesuatu yang netral, bisa saja ada yang menghubungkannya dengan pengalaman
negatifnya.
Kalau kita diam saja,
pasti gondok rasanya karena menahan gemas tetapi kalau dibalas dengan komentar
baik pun serba salah karena yang lagi emosi tidak peduli apapun yang kita
katakan sebab dialah si palilng benar. Yang jelas, tidak perlu ikutan
marah karena akan sama konyolnya dengan
mereka. Bagaimana menurut kalian?
Makassar,
19 Oktober 2023
Share :
Betul banget, Mbak. Ketika kita menggunakan sosial media juga pasti harus siap dengan apa yang terjadi pada postingan yang kita posting
ReplyDeleteSaya juga pernah mengalami hal seperti itu
ReplyDeleteBiasanya ya itu, tidak saya balas atau saya enggan meresponnya
Soal benar dan salah, itu memang obyektif. Bisa jadi saya yang salah, atau bisa jadi saya yang benar. Mau tidak mau ya harus siap dengan respon yang ada
Intinya siap dihujat dan siap menerima perbedaan, jika sudah berani main di media sosial.