Kejutan Manis Saat Penerimaan Rapor - Hari Ibu tahun ini diwarnai dengan pengambilan rapor anak gadis kelas 2 SMA. Dahulu, lebih sering ayahnya yang mengambilkan rapor supaya satu kali jalan terlebih sewaktu sekolah si anak gadis masih berdekatan dengan sekolah adiknya. Sekarang jarak sekolah keduanya berjauhan jadi tak mungkin ayahnya yang mengambilkan rapor keduanya. Kami pun berbagi tugas.
Bukan “murni” berbagi tugas sebenarnya hehe,
diawali dengan permintaan anak gadis untuk jalan berdua dengan mamaknya saja
sejak satu bulan yang lalu. Sayangnya saya belum bisa menurutinya karena ada
hal-hal yang urgent maka akhirnya disepakati usai penerimaan raporlah
saat yang tepat untuk jalan berdua.
Sebelum pembagian rapor ada penyampaian terkait
beberapa poin oleh kepala sekolah kepada para orang tua siswa di masjid sekolah
yang semi outdoor. Sudah banyak orang duduk di dalam masjid, saya mengambil
tempat di pelataran saja karena sulit masuk ke dalam masjid dan suara kepala
sekolah masih terdengar jelas dari tempat saya duduk.
Intinya, kepala sekolah mengajak orang tua
untuk lebih peduli kepada sekolah dan anaknya. Masih saja ada kasus-kasus yang
menunjukkan orang tua sama sekali tidak tahu keadaan anaknya. Masih saja ada
orang tua yang memaksakan bayangan masa depan anaknya. Contohnya ada yang menginginkan
anaknya masuk AKABRI padahal anaknya sendiri ingin jadi pengusaha.
Setelah selesai kepala sekolah berbicara, diumumkan
nama-nama siswa yang menduduki peringkat terbaik di sekolah, mulai dari kelas
X, XI, dan kelas XII. Mereka menerima penghargaan berupa piala dan sertifikat dengan
didampingi oleh orang tua dan wali kelas masing-masing.
Saya ikut merasa terharu dan bangga melihat
wajah-wajah berseri dari nama-nama yang dipanggil itu meskipun nama putri saya
tidak termasuk salah satu dari mereka. Senang melihat wajah-wajah “bercahaya”
mereka, kebahagiaan yang terpancar itu rasanya menular kepada saya.
Saya ikut bangga dan gembira, tidak cemburu
karena anak saya tidak ada di sana. Saya tidak pernah memaksakan anak-anak saya
untuk mendapatkan peringkat yang bagus atau ranking
di kelas atau di sekolahnya.
Bagi saya, walaupun pencapaian ranking bisa
bikin bangga, itu bukan keharusan dan saya tidak akan memaksa anak saya
mendapatkan peringkat. Yang saya inginkan adalah, anak saya memiliki keinginan mandiri
untuk belajar. Saya berharap dia menjadi pribadi yang tertarik belajar karena “haus
ilmu” bukan sekadar mencari peringkat, apalagi jika itu hanya demi gengsi.
Saya punya keyakinan, anak-anak saya punya
kelebihan sendiri yang tidak "terindera" oleh sistem pendidikan dan
belum tentu dilirik untuk diberi penghargaan. Banyak sekali jenis kecerdasan
tetapi yang “terukur” oleh sistem pendidikan nasional hanya sebagian kecil.
Setiap anak memiliki kecerdasan uniknya
masing-masing dan kecerdasan unik mereka selalu jadi yang terbaik buat saya dan
ayahnya dan hanya kami yang bisa MENGHARGAINYA secara proporsional karena tahu persis
apa kelebihan anak-anak kami. Kami, in syaa Allah akan support mereka
semaksimal mungkin dan menjadi tempat mereka pulang, sebenar-benar pulang.
Saya mendapatkan kejutan manis saat penerimaan
rapor di kelasnya, Athifah ternyata berhasil menduduki peringkat 1 di
kelasnya pada semester ini. Alhamdulillah. Sebelumnya, saya menduga dia
bisa menjadi salah satu yang terbaik di kelasnya karena melihat upayanya dalam
belajar selama ini tetapi tidak berharap dia mendapatkan ranking 1.
Saya percaya, hasil pembelajaran yang
diperolehnya bukan sekadar deretan angka yang tertera di rapor, melainkan juga
proses panjang yang dilaluinya untuk tiap mata pelajaran pada semester ini. Salah
satunya adalah dalam menghadapi anak-anak yang alot dalam tugas kelompok saat
Athifah bertugas menjadi ketua kelompok.
Tak semua anak mau bekerja sama. Ada yang
keras kepala, bahkan – maaf jika saya mengatakan “kurang ajar” karena tidak mau
melakukan apapun, bahkan sekadar urunan 5000 rupiah tidak mau. Hanya mau
menjadi tuan putri tanpa kerajaan.
Saya saja sebagai mamak dari Athifah merasa
gemas tiada tara, pengen rasanya mencubit ginjal si anak itu dan ginjal ortunya
juga karena anak model begitu biasanya tidak di-support orang tuanya. Yang belum baca cerita lengkapnya, bisa baca tulisan
berjudul Perjalanan
Anak Gadis dalam Kurikulum Merdeka Sejauh Ini.
Hal ini saya curhatkan kepada ibu wali kelas
karena jika pada masa sekarang anak-anak model begitu tidak bisa menghargai
orang lain, bagaimana saat mereka terjun
ke masyarakat nanti? Siapa tahu kelakuan anak-anak seperti ini bisa
dibantu diperbaiki melalui guru pendamping sosial-emosional anak yang akan
dibentuk di semester berikut. Semoga saja curhat saya saat itu ada manfaatnya.
Makassar, 24
Desember 2023
Share :
Point penting ini dari tulisan ibu,anak sy jg bakal saya tekankan,yang penting haus ilmu,karena belum tentu juga penghargaan dari rapot bs mengembangkan kemampuan si anak. Sudah cukup saya sj yg dibesarkan dengan cita2 orang tua,untuk anak saya saya bebaskan cita2 san keinginannya,pokoknya tidak melenceng dari hal baik pasti saya support
ReplyDeleteHalo Mas .. iya ... saya dulu selalu berpikir harus membanggakan orng tua dengan angka2 rapor yang bagus dan IPK yang rata-rata 3 ... akhirnya saya lupa ... untuk diri saya sendiri apa? Padahal seharusnya saya menanamkan kesadaran belajar untuk mencari tahu sesuatu karena keinginan sendiri, bukan sekadar nilai untuk membuat ortu senang. Tidak salah membuat ortu senang tetapi karena proses belajar pada dasarnya tentang diri kita sendiri, sebaiknya ada "kesadaran penuh" dalam proses itu untuk mengambil manfaatnya.
Delete