Perjalanan Anak Gadis dalam Kurikulum Merdeka Sejauh Ini – Sekian tahun telah berlalu, putri kedua saya, Athifah yang dulu sering saya ceritakan di dalam blog ini di kategori tulisan “Namanya Juga Anak-anak” dengan julukan “nona mungil”, kini tak mungil lagi. Dia telah duduk di bangku kelas XI di salah sebuah SMA negeri di kota Makassar dan sudah lebih tinggi daripada saya.
Sekolah Athifah menjalankan
Kurikulum Merdeka (kumer), pertama kali diterapkan pada angkatan dia.
Sayangnya, sekolahnya belum bisa menjalankan kumer sepenuhnya karena ruang
kelasnya tidak cukup untuk menjalankan moving class sehingga kumer
dijalankan dengan kelas tatap muka yang tetap.
Tidak apalah ya, namanya
juga baru menjalankan Kurikulum Merdeka. Soalnya urusan penambahan ruang kelas
bukan urusan mudah bagi sekolah negeri, pasti berhubungan dengan keuangan yang ribet
prosesnya. Jauh lebih mudah mengadakan renovasi sedikit-sedikit ketimbang
membangun baru namun itu pun bukan berarti mudah juga karena banyaknya pos
pengeluaran yang harus diperhatikan.
Saya amati, Athifah cocok dengan
kumer. Dia belajar banyak hal dan bisa mengeksplorasi dirinya. Eksplorasi diri
di antaranya berupa kepemimpinan, kemampuan berdiplomasi, dan kemampuan
mengatur anggota kelompok.
Sebagai orang tua, saya
dan suami melakukan support semaksimal mungkin. Sebagai support
systme, kami membantu menyediakan tenaga, pendengaran ketika si putri
curhat, dan memfasilitasi segala sesuatunya, termasuk menyediakan makanan
ketika teman-temannya berkumpul di rumah kami untuk mengerjakan tugas kelompok.
Dalam kurikulum ini, sering
kali ada tugas kelompok yang harus dikerjakan dan setiap menjelang akhir semester
ada tugas bersama yang diistilahkan
dengan Project Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Project besar
ini, di sekolah Athifah, masih dikoordinasi oleh guru atau wali kelas terkait
topik dan metodenya.
Bagi saya, fine-fine saja
kurikulum merdeka yang dijalani putri saya sebab pada dasarnya Athifah bisa “menikmati”
proses pembelajarannya dan mampu belajar banyak dari proses tersebut. Hanya
saja hambatan dalam pelaksanaannyalah yang bikin saya merasa pengen garuk-garuk
aspal saking gemasnya.
Setelah satu setengah
tahun mengamati, entah ini bisa disebut sebagai hambatan atau tantangan – yang cukup
menyebalkan dari proses pengerjaan tugas adalah kelakuan anggota kelompok yang
hanya mau enaknya saja.
Yang paling kurang ajar
adalah anak perempuan yang modelnya seperti ini: tidak mau setor foto kegiatan,
tidak mau ikut presentasi, tidak mau sama sekali terlibat dalam proses
pengerjaan tugas kelompok, dan sama sekali tidak mau membayar atau ikut
urunan padahal hanya lima ribu rupiah!
Menyebalkan, bukan?
Cocoknya diapain anak model
begini? Cubit ginjalnya dan ginjal mamaknya?
Well, anak-anak model begitu
biasanya tidak memiliki hubungan baik dengan orang tuanya dan tidak di-support
dengan baik oleh orang tuanya. Itu makanya, jadi pengen cubit ginjal
mamaknya juga.
Anak-anak seperti ini di level
SD mungkin masih bisa “dimaafkan”. Di level SMP sudah mulai bikin “gemas”,
dan di level SMA ini, mereka menjadi makhluk yang menyebalkan! Bagaimana
nanti ketika jadi orang tua? Mereka akan mencetak miniatur baru dalam generasi
penerusnya, bukan?
Contoh keterlaluan lainnya
adalah dari seorang anak perempuan yang tidak mau urunan karena menurutnya dia
tidak punya uang padahal kalau ke sekolah dia dandan menor, bibirnya merah
berlipstik. Ke sekolah dia membawa alat-alat makeup yang pasti dibelinya
pakai duit dong.
Lalu kenapa dia tidak mau
ikut urunan sebesar lima ribu rupiah? Karena dia menggunakan alasan: putri saya
didukung penuh oleh orang tuanya, berbeda dengan dirinya yang tidak didukung
orang tuanya. Iiiihhhhhhhhhhh.
Bagaimana tak mendidih kalau
yang seperti ini terjadi berulang kali?
Ketahuilah, yang jadi ketua
kelompok orangnya itu-itu saja, sekitar 3-5 anak di dalam kelas, salah satunya
Athifah. Kalau sekelompok dengan ratu drama mager maka masalah yang sama
berulang lagi. Capek kan?
Suatu ketika, saya gondok
luar biasa karena kami tak punya printer sehingga untuk mencetak tugas
di atas kertas, Athifah harus dibantu oleh ayahnya dengan cara membawakan file-nya
ke tempat jasa printing lalu mengantarkan ke sekolah Athifah.
Bukan perjalanan pendek
karena suami saya harus mengantar si bungsu Afyad ke sekolahnya terlebih dulu
di sebelah timur kota, di mana lokasinya jauh dari rumah. Setelah itu, beliau berbalik
arah, ke jasa printing untuk mencetakkan tugas Athifah, lalu
mengantarkan hasil printing-nya ke sekolah Athifah yang letaknya di
bagian barat kota ini.
Total perjalanan suami sekitar
20 km hingga tiba di sekolah Athifah lalu ada bocah ingusan keras kepala yang
ngotot tak mau terlibat dalam kerja kelompok dan tak mau membayar 5000 rupiah!
Enaknya diapain anak gadis semacam ini?
Makassar,
21 Desember 2023
Share :
0 Response to "Perjalanan Anak Gadis dalam Kurikulum Merdeka Sejauh Ini"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^