Mendengar penuturan keempat narasumber pada Diskusi Publik Efektivitas UU PDP untuk Melindungi Data Pribadi Warga pada tanggal 24 April lalu, di benak saya terbetik satu hal yang ingin saya titip kepada para narasumber. Sebagai seorang ibu, saya menitip asa agar kelak penerapan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi memang benar-benar menyentuh masyarakat bawah, terutama untuk anak-anak dalam implementasinya.
Mengingat saya tinggal di
dalam gang dan terbiasa melihat anak-anak dari usia sekolah dasar hingga remaja
berkelompok-kelompok di berbagai sudut sekitar rumah, bergaul dengan gadget di
tangan sudah menjadi bagian dari keseharian mereka.
Saya tahu kata kunci untuk memahami
internet adalah EDUKASI LITERASI DIGITAL tetapi tak segampang itu menyentuh semua kalangan masyarakat
bawah yang kebanyakan masih sibuk berkutat dengan “yang akan dimakan esok hari
dicari duitnya hari ini”.
Kebanyakan orang tua
mereka hanya menyerahkan begitu saja handphone untuk dipakai anak
mereka. Jangankan untuk mengupayakan anak dengan materi-materi untuk
meningkatkan kecerdasan digital, mereka sendiri BELUM TENTU memiliki awareness
mengenai apa itu literasi digital.
Belum tentu piawai menjaga
data pribadi atau paham cara mengatasi hoax. Selain belum tahu, bisa
jadi ada juga yang tidak peduli – asal dirinya dan anaknya bisa pakai gadget
dengan koneksi internet stabil saja cukup.
Lingkungan yang
kehidupannya seperti lingkungan rumah saya banyak di Makassar. Berkendara
sepanjang kanal saja, bisa ketahuan bagaimana taraf hidup masyarakat di sana.
Cobalah berkendara sepeda motor di jalan-jalan tikus di kota ini untuk cari
tahu!
Smartphone sepertinya bukan barang
mewah lagi karena harganya yang beragam. Di antara mereka yang rela antre untuk
mendapatkan bantuan beras miskin (raskin), ada yang masih bisa mengupayakan ponsel
pintar buat anaknya, terlebih untuk kepentingan pendidikan namun dirinya
sendiri tak menggunakan handphone.
Belum lagi kelakuan
sejumlah bocil. Sudah tahu cara berbelanja di marketplace yang
bisa bayar cara COD (cash on delivery) alias bayar di tempat. Enak saja
memesan barang seharga ratusan ribu rupiah dan
nanti orang di rumah yang disuruh bayar.
Orang-orang seperti mereka
inilah, mulai dari anak-anak SD, remaja, hingga orang tuanya yang perlu diberi
perhatian terkait implementasi PDP dan tentunya literasi digital karena jumlah
mereka besar dan rentan menjadi korban penipuan, kekerasan gender berbasis
online, dan tindak pidana perdagangan orang.
Kasus-kasus penipuan,
kekerasan gender berbasis online, dan tindak pidana perdagangan orang
sudah banyak dibahas dan dengan mudah ditemukan di internet. Salah satunya bisa
dibaca pada tulisan berjudul Wapadai Balas Dendam Berupa Kejahatan Seksual.
Melalui diskusi publik
ini, saya ingin menitip asa, barangkali saja bisa sampai pada penentu dan
pelaku kebijakan yang berkompeten. Untuk diri pribadi, saya masih punya pe
er besar. Sebisa mungkin saya memantau anak-anak saya untuk urusan
perlindungan data pribadi tetapi tak 24 jam juga. Saya baru bisa benar-benar
lega jika nanti mereka semua sudah dewasa dan saya bisa diyakinkan bahwa mereka
sudah di track yang benar dalam menjalani kehidupan.
Prof. Maskun, narasumber
bidang hukum menanggapi asa yang saya titipkan dengan mengatakan perlu adanya
aturan turunan yang dibuat lebih teknis untuk mengatur hal-hal yang saya
sampaikan tersebut dalam implementasi UU PDP.
Yah, semoga saja penerapannya
benar-benar menyentuh semua lapisan masyarakat ya.
Makassar,
21 Mei 2024
Selesai
Share :
0 Response to "Menitip Asa untuk Implementasi UU PDP"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^