Orang Dalam

Orang Dalam - Ngobrol secara random tentang anak yang ikut ujian mengemudi demi mendapatkan SIM atau tentang berburu sekolah baru, masih saja ada wacana “orang dalam” mengiringi. “Musim cari sekolah baru” masih berlangsung. Wacana masuk sekolah lewat jalur “orang dalam” masih saja membahana sejak zaman dulu hingga sekarang.

Oleh sebagian besar masyarakat kita dianggap lazim. Jujur saja, sangat sulit untuk memilih berproses panjang melelahkan atau mengambil shortcut. Shortcut atau jalan pintasnya adalah UANG.

Orang Dalam

Pembicaraan dengan sejumlah orang menunjukkan pengalaman mereka yang merasa harus menggunakan “jalur orang dalam” agar tidak ribet urus SIM dan agar anaknya bisa bersekolah di sekolah favorit.

Urusan sekolah pakai jalur orang dalam ini sejak zaman dulu sudah ada. Saya beruntung kedua orang tua saya bukanlah golongan orang yang selalu mencari orang dalam untuk sekolah anak-anaknya. Alhamdulillah, Allah memudahkan saya dan kedua adik saya untuk masuk ke sekolah hingga kampus negeri favorit.

Hal yang sama coba saya terapkan kepada anak-anak ketika mencari sekolah negeri. Kalau jalur zonasi dan jalur prestasi tidak bisa diraih, apa boleh buat, memang bukan haknya, ada anak-anak lain yang lebih berhak masuk. Pada aturan yang sebenar-benarnya berlaku bagi masyarakat umum adalah: tidak pernah ada jalur orang dalam dalam jalur reguler yang resmi.

Hebatnya sekarang, jalur masuk sekolah negeri yang dulu disebut-sebut sebagai jalur “letjen” alias lewat jendela, ada yang mengistilahkannya sebagai “jalur mandiri”. Seperti mau dikecoh masyarakat dengan istilah yang berlaku di kampus yang sudah PTNBH (perguruan tinggi negeri berbadan hukum) statusnya.

Dengan dinormalisasinya jalur orang dalam yang menggunakan duit pada penerimaan siswa sekolah negeri, sebenarnya ada siswa lain yang lebih berhak menempati kursi yang diambil haknya. Tanpa uang di tangan, siswa tersebut akhirnya tak bisa masuk sekolah negeri incaran. Hal ini mungkin tidak disadari oleh orang tua karena toh banyak orang tua lain yang melakukannya dan pihak sekolah yang membuka jalur tersebut.

Setiap berhadapan dengan orang yang menggampangkan jalur orang dalam, rasanya saya yang jadi tidak umum, jadi orang yang anti mainstream makanya saya senang sekali ketika mendengar ada guru SMA negeri yang tidak mau bantu pengurusan masuk SMA tersebut bagi keluarganya yang menginginkan “jalur keluarga” padahal lazim juga di masyarakat kita menggunakan jalur hubungan keluarga ini. Jangankan keponakan langsung, keponakan tidak langsung saja atau anak teman bakal dibantu.

Pun ketika sulung saya lulus masuk PTN vokasi yang diminatinya pada tahun 2019, seorang sahabat yang menjadi dosen di kampus tersebut menyampaikan apresiasinya kepada saya. Saya baru mengabarinya bahwa putra saya lulus di kampusnya setelah putra saya lulus, bukan sebelum ujian masuk PTN dan tidak minta diuruskan olehnya.

Sahabat saya lalu bercerita bahwa menjelang penerimaan mahasiswa baru, ada saja yang menghubunginya untuk minta bantuan dilicinkan jalan masuknya ke PTN tersebut. Masya Allah, saya bahagia mendapat apresiasi dari sahabat tersebut, itu maknanya saya bisa menjaga persahabatan kami yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.

Demikian pun ketika membaca komentar-komentar di tulisan saya yang berjudul Dukung Sepenuh Hati, Nyalakan Kreativitasnya, saya merasa senang karena masih ada yang menghargai proses pengurusan SIM jalur normal. Yang mana dengan mengikuti ujian demi ujian, bisa makan waktu hingga 4-5 kali hingga lulus.

Saya tidak habis pikir, untuk jalur masuk sekolah negeri favorit, jalur orang dalam dinormalisasi sementara untuk jalur karier, masih banyak yang menentang seperti kasus mantan menteri pertanian yang juga mantan gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo. Beliau memasukkan anak, ponakan, kakak, dan kerabat lainnya sebagai tenaga profesional ke dalam kementerian atas nama “gengsi” sebagai menteri yang kemudian dibayar mahal  – kata Pak Syahrul dalam suatu sidang: demi gengsi, masa tidak bisa membantu keluarga? Saya kira banyak yang berteriak-teriak mengikuti kasus ini.

Yeah, apakah ini memang Asian value? Sebuah “nilai” yang diterima banyak orang sebagai kelaziman?

Lantas, apakah lebih tinggi Asian value jika diperhadapkan dengan norma yang sebenar-benarnya, apalagi aturan agama tentang larangan berbuat curang dan mengambil hak orang lain?

Makassar, 27 Juni 2024



Share :

0 Response to "Orang Dalam"

Post a Comment

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^