Membuat Storytelling yang Bikin Emosi – Narasumber kedua di Pelatihan Peningkatan Kapasitas Penulisan adalah Dwi Santoso. Berdasarkan informasi dari moderator, bapak yang rambutnya sudah memutih ini pernah membantu Balai Media Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek untuk program Indonesiana TV, dan creative advisor untuk beberapa kementerian dan politik. Dalam rundown hanya dituliskan beliau dari Kumparan. Saat browsing tentang beliau sebelum membuat tulisan ini, saya mendapatkan tambahan informasi di kompas.com[1] bahwa lelaki kelahiran 1972 ini dikenal sebagai art director periklanan, penulis, sutradara video musik, travel skecher, komikus, pengajar, bahkan produser sinetron.
Pemateri yang pernah mengecap pendidikan Desain Produk di ITB ini mempresentasikan materi berjudul Belajar Cepat Storytelling. Dari history beliau, sudah ketahuan ya materi yang kami dapatkan dari BKHM Kemendikbudristek tanggal 4 Juli lalu di ruang Betawi 3, Hotel Santika Premier Slipi “bukan kaleng-kaleng”? Saya sampai 2 kali tunjuk tangan untuk bertanya, lho. Mumpung lagi dapat materi oleh orang yang sudah lama malang-melintang di dalam dunia kreatif story telling, kan? 😍
Mengapa Harus Storytelling?
Cerita atau narasi
lazim ada di buku cerita anak. Informasi yang disajikan dalam bentuk cerita
cepat diserap oleh anak. Mengapa topik storytelling ramai akhir-akhir
ini? Karena saat ini batas antara media massa (yang isinya berita, bersifat substantif)
dan media sosial (yang isinya cerita, bersifat naratif) ngebaur dan ngeblur.
Bahkan berita pun mengambil postingan media sosial sebagai sumber
beritanya.
“Nyamar nih sekarang, mana cerita mana berita. Media massa yang harusnya bikin berita itu bikin judul udah kayak judul cerita. Sementara anak media sosial yang harusnya bercerita bikin cerita itu bikin tulisan kayak pemberitaan. Nah, ini bentuk dari perkembangan. Pertanyaannya, kita bisa memanfaatkan apa dengan situasi ini? Bahwa ternyata kita semua – orang biasa pengguna media sosial bisa menjadi awak pewarta atau memberitakan sesuatu atau pesan. Ini sebenarnya harus kita manfaatkan. Jika Bapak/Ibu punya komunitas atau gerakan sosial yang ingin disosialisasikan atau dikomunikasikan, bisa memanfaatkan media sosial. Dengan harapan wartawan baca, diangkat jadi artikel berita,” ujar lelaki yang akrab disapa Anto Motulz ini.
Membuat Storytelling
yang Mengena di Emosi Pembaca/Penonton
Seperti pada umumnya
tulisan, storytelling juga memilik kerangka umum yang meliputi: introduksi - konflik (masalah)
– konklusi.
Dalam introduksi ada perkenalan lokasi, perkenalan karakter, situasi,
substansi, dan sejenisnya. Dalam konflik ada pertanyaan atau hal yang kita
tunggu kalau sesuatu terjadi. Dalam konklusi ada penyelesaian yang
ditunggu-tunggu oleh pembaca atau penonton. Dalam konklusi bisa dibuat twist
atau konklusi di luar dugaan pemirsa atau pembaca.
Kerangka atau babak dalam
cerita ini bisa dibolak-balik urutannya. Bisa saja konklusi lebih dulu, lalu
konflik dan introduksi. Hanya saja penempatannya harus menarik yang
baca/nonton. Hal lain yang harus pandai-pandai diselipkan di dalam cerita
adalah DRAMATURGI yang dapat membangun alur emosi naik-turun pemirsa
atau penonton agar mereka menyimak terus jalan cerita.
Unsur lain yang penting
adalah KLIMAKS. Klimaks merupakan “tujuan emosi utama” yang ingin
dicapai. Istilah Pak Anto dalam membuat klimaks ini “disundul sampai mentok”.
Jika emosi sedih yang ingin disasar maka “sundul terus”, kalau bisa sampai
berderai-derai air mata penonton atau pembaca. Contoh lain seperti klimaks emosi
senang pada film Agak Laen yang membuat penontonnya sulit berhenti tertawa.
Saya bertanya kepada Pak
Anto, dalam pengalamannya klimaks dan dramaturgi seperti apa yang paling
disukai pembaca/penonton? Beliau menjawab yang
mengena pada 6 emosi dasar dasar. For your information, menurut psikolog
Paul Ekman, ada 6 emosi dasar manusia, yaitu terkejut, takut, marah, senang, jijik, dan sedih. Kurang lebih
maksudnya, eksplorasi sisi emosi dasar untuk memikat penonton atau pembaca.
Namun demikian, perhatikan
karakter khas pada pemirsa sebagai bagian dari strategi komunikasi. Misalnya,
pada masyarakat Jawa dan Makassar, bisa jadi berbeda hal yang membuat mereka
tertawa atau sedih. Contoh lain pada masyarakat Papua, mop yang dibawakan
ala stand up comedy dijadikan cara untuk membuat iklan radio tentang
pentingnya menjaga kebersihan yang menyentuh emosi senang masyarakat Papua.
Kekuatan pesan adanya di
emosi atau rasa. Makanya emosi menjadi prioritas dalam membuat storytelling.
Cerita yang menyentuh (emosi) orang, membuat orang rela melakukan pesan yang
dikandung oleh cerita. “Secara teori, hal berupa cerita lebih mudah diingat dibandingkan
paparan,” pungkas Pak Dwi Santoso.
Arahkan pesan kita ke heart
baru ke head. Dahulukan ke rasa baru ke logika. Secara psikologi, manusia lebih
mudah menerima pesan yang mengena (hatinya/perasaannya) daripada yang dia mengerti.
Mengapa? Karena demikianlah sistem otak kita bekerja. Otak kita yang paling
pertama menerima adalah otak yang memproses rasa.
Contoh lagi jalan
tiba-tiba melihat sesuatu seperti kulit ular maka reaksi pertama adalah
menghindar karena takut dan ingin menyelamatkan diri. Reaksi dari kerja otak
pertama kali ada yang menyangkut rasa karena dari situlah sistem pertahanan
tubuh kita bekerja. Dari rasa barulah bergeser, kita memikirkan apakah hal
tersebut relevan atau tidak dengan kita. Terakhir, baru logika merespon,
benarkah yang dilihat ular atau bukan.
Menarik sekali materi Pak
Anto Motulz. Untuk memikat pembaca di mana pun, baik di media sosial atau media
lain, bahkan ketika membuat slide presentasi, storytelling yang
bikin emosi dasar manusia terusik bisa diterapkan agar pembaca atau
pemirsa tertarik untuk menyimak apa yang disampaikan sampai selesai dan mengingat
pesan yang disampaikan. Tinggal praktiknya, mudahkah?
Makassar,
11 Juli 2024
Isi tulisan ini dituliskan
kembali dari penuturan Pak Dwi Santoso pada pelatihan Peningkatan Kapasitas
Penulisan. Tidak semua saya tuliskan, hanya sebagian dan tidak secara detail.
Dalam sesi ini ada tugas. Sebagian tulisan saya sempat di-review oleh
Pak Anto Motulz. Sesampainya saya di rumah, saya memperbaiki tulisan saya dan
lahirlah tulisan berjudul Refleksi Kurikulum Merdeka: Jika Ada yang Enggan, Apakah Harus Dikendorkan?
Oya, jangan bingung
membaca ada 2 nama di dalam tulisan ini karena sesungguhnya pemilik kedua nama
itu adalah orang yang sama.
[1] https://nasional.kompas.com/read/2018/08/16/07120071/kompascom-merayakan-kolaborasi-bersama-anto-motulz-wulang-sunu-dan-reza?page=all,
diakses 12 Juli 2024 pukul 12:22.
Share :
Seruuu bangettt ikut Pelatihan yg sarat faedah.
ReplyDeletemakasii udah posting ilmu bergizi ini mbaaa
sangat bs kita terapkan yah
Wahhh keren yaa mbaaa bisa mengikuti pelatihan langsung dari ahlinyaaa...aku juga pengen belajar story telling biar tulisna pengalaman travellingku semakin menarik buat dibaca 😊
ReplyDeletekalau aku membaca storytelling orang lain yang bisa bikin sampe menguras emosiku, kerennn banget. Mereka bisa menyampaikan ceritanya dengan baik dan ngena.
ReplyDeleteIkutan workshop storytelling kayak gini seru juga mbak, apalagi kita dapet ilmu dari ahlinya dan bebas sepuasnya bertanya.
waaah belajar dari sang ahli begini emang menyenangkan, tentu menambah banyak ilmu dan sudah pasti bisa langsung dipraktekin. Walaupun susah tapi kalau sudah terbiasa pasti akan mengalir banget
ReplyDeleteSemoga ada acara semacam ini di berbagai kota yaa karena sangat bermanfaat. Nah ternyata storytelling tak hanya untuk tulisan fiksi tapi juga bisa buat nonfiksi.
ReplyDeleteKita perlu mengeksplorasi cerita yang menyentuh emosi dasar manusia agar bisa menarik perhatian penonton. Oke noted, Kak.
ReplyDeleteCerita yang baik memang cerita yang mengalir, namun bisa menyentuh sisi emosional audiensnya ya mbak. Tapi salah satu yang penting menurutku, adalah menjaga dan terus menambah diksi. Sebab untuk bisa mencapai hal tersebut, salah satunya ya perlu juga kekayaan diksi yang luas agar penyampaian kita bisa lebih baik dan efisien.
ReplyDeleteDahulukan rasa baru logika.
ReplyDeletePengen banget terbang ketemu dirimu mba, banyak ingin diskusikan.
Membaca tulisanmu selalu larut, ada rasa yang disampaikan, kebayang pertemuan waktu itu, sosok bersahaja dan penuh ilmu. Sehat2 ya mba dan terus menginpirasi dan tetap menulis.
Semoga kita semua penulis2 makin bisa membawa story telling dan bisa mengena bagi insan2 yang membutuhkan.
Aissssh mbaa, pengen banget bisa ikutan acara ini.
ReplyDeleteSetelah dibaca, iya sih, terkadang rasa lebih bermain duluan drpd logika. Aku sendiri merasa lebih memakai logika drpd perasaan. Tapi kalo dipikir2 dengan cth kulit ular tadi, seandainya aku liat nih, bisa JD aku merasa takut duluan dan pasti menghindar. Bukannya malah LGS sadar kalo itu kulit ular yg ga usah ditakutin lagi 😅
JD bener memang, kita hrs sentuh dulu perasaan orang lain, utk bisa menyampaikan pesannya yaa. 👍
Siapa yang ikutan nih workshop penulisan seperti ini beneran bikin refresh dan juga menambahkan ide-ide dan juga berbagai jurus baru untuk menulis yang lebih baik Mas Dwi SAntoso ini orangnya keren sekali. Saya sudah follow lama Twitter dan juga sosmed yang lain inspiratif sih.
ReplyDeleteMbaa, keren banget bisa ikutan event ini 🤩 masya Allah kebayang banyaknya ilmu yang diperoleh dari kegiatan kali ini.
ReplyDeleteBetul memang ya mba, tulisan yang baik itu tulisan yanh mengalir natural namun bisa menyentuh pembaca dari sisi emosional.
Jadi inget buku-buku karya NH Dini yang tipe nya tuh beneran ngajak pembaca buat larut dan merasakan emosi dalam setiap part ceritanya.
Btw semua peserta pakai outfit serupa? Apakah itu semacam seragam? Cakep banget soalnya dari sisi warna dan motif.
Bajunya cakeepp banget, ka Niaarr..
ReplyDeleteDan aku etrpukau dengan teknik story telling yang diajarkan.
Kembali lagi yaa, semua butuh jam terbang. Tapi aku pikir juga penting untuk memahami karakter perasaan atau pembaca yang bisa disentuh. Tapi mostly reaksinya tetep sama terhadap sesuatu berita atau penceritaan yang dramatis.