Pendidikan Karakter dari yang Berkarakter? – Sebanyak 51 siswa dari sebuah SMP negeri di kota Depok dianulir dari 8 SMA negeri setelah kedapatan “cuci rapor”. Istilah cuci rapor ini sudah ada sejak bertahun-tahun lalu tetapi bukan pada masa saya bersekolah hanya saja praktiknya sudah sejak zaman saya masih duduk di sekolah dasar sering dilakukan.
Kalau sekarang, nilai rapor penting untuk masuk sekolah negeri, pada zaman saya bersekolah dahulu menggunakan NEM (Nilai Ebtanas Murni). Ebtanas itu singkatan dari “evaluasi belajar tahap akhir nasional”, kurang lebih mirip ujian nasionallah. Entah tradisi atau “budaya” karena sudah terjadi sejak dahulu, urusan permainan ketika memasukkan anak di sekolah negeri favorit masih saja berlangsung hingga kini.
Saya tuh bertanya-tanya,
kasus SMP negeri di kota Depok yang mark up rapor 51 siswanya itu, apakah
atas permintaan orang tua siswa atau tidak? Eh tapi tanpa permintaan orang
tua pun, totally wrong ya. Membawa anak masuk sekolah favorit dengan
cara salah jelas saja salah dan tak sesuai dengan pendidikan karakter yang
didengung-dengungkan sejak dulu.
Pendidikan karakter didefinisikan sebagai usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik (habituation) sehingga anak mampu bersikap dan bertindak bersandarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya[1].
Anak yang nilainya dicuci akan
belajar mencari jalan pintas secara tidak benar dan akan membenarkan hal
tersebut, ke depannya bisa menjadi penerus tradisi atau budaya cuci nilai. Sekaligus
tidak menyadari dengan cara ini ada orang-orang yang diambil haknya padahal
mereka lebih berhak.
Itu untuk masuk sekolah jalur
prestasi ya. Ada juga manipulasi masuk sekolah jalur zonasi agar bisa bersekolah
di sekolah negeri favorit. Masih banyak orang yang menempuh segala cara agar
dokumennya menunjukkan domisilinya sangat dekat dengan sekolah padahal aslinya
jauh dari jangkauan zonasi yang seharusnya. Ini di luar yang memang memiliki dokumen
kependudukan resmi yang belum berganti ya sehingga tanpa memanipulasi pun, data
dejure-nya sudah sesuai walau defacto sudah tidak tinggal di situ.
Coba deh cek ketika
proses belajar-mengajar sudah berjalan, apakah semua anak jalur zonasi memang
benar-benar tinggal dekat sekolah?
Belum lagi pencarian “orang dalam” oleh orang tua yang
masih saja menjadi salah satu isu ketika masa penerimaan peserta didik baru
tiba. Jika pesimis atau terbentur pada peraturan yang membuat tak bisa menembus
sekolah dengan cara normal, perlu mencari orang dalam yang powerfull.
Orang dalam ini menjadi pegangan yang menenangkan. Malah belakangan ada istilah
JALUR MANDIRI untuk anak yang masuk sekolah negeri dengan cara BAYAR melalui oknum orang dalam.
Jalan-jalan pintas ini sudah
menjadi KARAKTER banyak orang. Karakter yang sudah mengkristal dan akan tumbuh
menjadi pemahaman bagi si anak bahwa ke depannya HANYA cara-cara itulah yang
bisa mengantarkan keturunannya juga bersekolah di sekolah negeri impian.
Pertanyaannya … bagaimana
kita memahami PENDIDIKAN KARAKTER dan mewariskannya kepada generasi penerus
melihat hal-hal seperti ini? Sudahkah kita sendiri memiliki karakter baik yang
kuat dan nilai-nilai berkualitas untuk diwariskan kepada generasi penerus
sebagai karakter baik yang akan mereka ajarkan kepada anak-cucu mereka? Apakah
PENDIDIKAN KARAKTER hanya sekadar slogan atau memang harus diaplikasikan?
Makassar,
23 Juli 2024
Selamat Hari Anak Nasional.
Mari mewariskan karakter dan nilai baik kepada generasi penerus kita.
[1] https://gurudikdas.kemdikbud.go.id/news/pendidikan-karakter-:-peranan-dalam-menciptakan-peserta-didik-yang-berkualitas
Share :
0 Response to "Pendidikan Karakter dari yang Berkarakter?"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^