Takut Berlebihan Terhadap Jilbab? - 30 tahun yang lalu saya memutuskan berjilbab. Waktu itu masih banyak yang antipati, bahkan dari kalangan sesama muslim. Saya bahkan butuh waktu lama untuk meyakinkan orang tua tentang keinginan saya karena mereka belum ridho saat pertama kali saya kemukakan ingin berjilbab tahun 1990. Namanya anak SMA yang saat itu masih labil, masih belum bisa menempatkan perintah Allah di atas orang tua, keinginan berjilbab saya tahan hingga 4 tahun.
Saya tahu kewajiban
menutup aurat sejak mengikuti kajian agama Islam khusus muslimah di sekolah,
SMAN 2 Makassar sewaktu masih kelas 1. Oleh karena itu, saat naik di kelas 2,
saya sudah memiliki niat untuk mengenakan jilbab. Sayangnya, waktu itu harus
berdebat dengan orang tua yang mengatakan jilbab hanya pakaian orang Arab. Saya
sudah paparkan dalil-dalil di hadapan keduanya, tetap saja ditentang. Lalu saya
pun mengalah.
Keinginan menutup aurat
tidak saya kubur. Saya tetap menyimpan keinginan itu dalam hati. Pelan-pelan,
ketika kuliah di Fakultas Teknik Unhas, keinginan saya mulai menguat dan makin
menguat pada tahun 1994. Saya ingat, saya berjilbab tanggal 17 Maret 1994, saat
usia saya menjelang 20 tahun.
Waktu itu saya sudah paham
hukum menutup aurat dan tidak lagi meminta izin pada orang tua. Saya hanya
sekadar menyampaikan kepada orang tua bahwa saya akan mengenakan jilbab usai
lebaran. Saya tunda usai lebaran karena saya tak punya baju lebaran yang pantas
jika sebelum itu mengenakan jilbab. Tanggal 17 Maret saat itu, hanya lewat
beberapa hari dari hari raya Idulfitri.
Waktu itu, saya mengumpulkan uang jajan dan pelan-pelan membeli kemeja lengan panjang, kulot (celana rok), rok, dan jilbab berbahan katun. Kurang lebih jumlahnya ada sekitar 5 blus dan 3-5 jilbab, saya pun mengenakan jilbab. Saya lebaran, biasanya saya harus ikut orang tua berlebaran di rumah kerabat. Saya tidak punya baju lebaran yang pantas jadi memilih wakatu setelah lebaran. Untungnya masih panjang umur. 😁
Di zaman itu kerap
terdengar orang berjilbab tak diterima bekerja. Boleh bekerja atas mau melepas
jilbabnya. Itu juga menjadi kekhawatiran orang tua waktu itu. Buat saya ya
tidak usah bekerja di tempat yang seperti itu kalau disuruh lepas jilbab. Saya sudah
tahu konsekuensi apa yang harus saya lakukan saat memutuskan berjilbab, salah
satunya adalah tahu siapa yang boleh melihat aurat seperti rambut dan betis dan
siapa yang tidak boleh. Sejak memutuskan berjilbab, saya tak pernah lagi ke
warung sebelah tanpa menutup aurat dan tidak mau bertemu laki-laki yang bukan mahram
tanpa menutup aurat terlebih dulu.
Lama-kelamaan, perkembangan semakin bagus, muslimah berjilbab semakin mudah beraktivitas hingga bekerja sampai di zaman sekarang tetapi jelang 17 Agustus terjadi blunder, para paskibraka yang dikukuhkan semuanya seragam – bahkan yang berjilbab saat latihan dan mereka juga berjilbab sejak masih duduk di bangku sekolah dasar dan SMP – mereka semua melepas jilbabnya. 😟
Penasaran, alasan orang di
balik ini apa, ya? Apakah takut jilbab mengganggu gerakan? Eh, mainnya
kurang jauh ya kalau demikian alasannya. Selama 30 tahun berjilbab,
alhamdulillah tidak ada aktivitas saya yang terganggu. Sejak dulu, kalau ada
yang bukan mahram menginap di rumah seperti sepupu laki-laki, saya tetap
pakai jilbab di rumah, kecuali di dalam kamar tidur atau kamar mandi. Tidak ada
masalah.
Di dapur – masak atau cuci
piring, jilbab yang saya kenakan tidak mengganggu kok. Bahkan adik, adik
ipar, dan ponakan-ponakan saya bercadar, saya melihat aktivitas mereka tidak
terganggu, kok dengan cadarnya. Banyak sekali teman saya berjilbab,
mereka tidak repot dengan jilbabnya, kok.
Sepertinya ada ketakutan
lain tetapi saya tak ingin membahasnya toh masalahnya sudah selesai.
Bersyukur saat pengibaran bendera, para paskibraka yang muslimah kembali
mengenakan jilbabnya. Keributan ini akhirnya tertangani berkat PPI (Purna
Paskibraka Indonesia) speak up seketika saat melihat video pengukuhan
paskibraka tak ada satu pun yang mengenakan jilbab.
Bahkan ada daerah-daerah
yang ingin menarik paskibrakanya jika saat pengibaran di tanggal 17 Agustus
para paskibraka yang sebelumnya sudah mengenakan jilbab tetap dilarang untuk
berjilbab. Hal yang aneh karena sejak tahun 2002 sudah lazim muslimah berjilbab
menjadi bagian dari paskibraka. Terima kasih atas kegercepan PPI. Jika
tak ada inisiatif dari PPI, mungkin tanggal 17 Agustus baru terbongkar masalah
ini.
Heran ya, di zaman yang
keberagaman semakin dihargai justru ada orang yang ingin menyeragamkan
keberagaman itu, dan itu terkait jilbab yang sebenarnya sudah sangat diterima
di semua kalangan. Harus ada desakan kuat dari luar yang membuat jilbab boleh
dikenakan lagi oleh paskibraka saat upacara negara.
Makassar,
27 Agustus 2024
Late post. Tulisan ini bersumber dari catatan saya di Facebook. Baru saya upload ke blog ini dengan sedikit tambahan, mencukupkannya menjadi sebuah tulisan.
Share :
Aku sendiri mulai pakai jilbab pas SMP kls 1 krn dulu kan sekolah di Aceh, memang wajib pakai mau ga mau 😁. Cuma krn saat itu aceh blm syariat islam, jd paksi jilbabnya hanya di sekolah.
ReplyDeleteDi luar sekolah terserah.
Tp papa akhirnya mulai membiasakan kami pakai. Tapi sejujurnya aku sendiri blm bisa 100% konsisten mba. Terkadang masih lepas. Pertama aku sering gerah, kedua krn kalo pakai hijab pasti persiapan banyaaak 🤣. Trutama dandan, belum cari ciput dll. Kalo udh males, akhirnya memilih buka dulu.
Tapi skr ini aku usahain utk mulai pake pelan2 . Lagi rajin beli hijab yg adem, bagus, supaya semangat pakenya. Tp blm nemu jilbab instan yg nyaman. Kebanyakan yg segi 4. Trus ciput juga, kdg kalo udh kelamaan pake pusing kepala. Pdhl aku ga terlalu ketat pasangnya 😣