Sesungguhnya bagiku “bukan Desember kelabu” yang berlaku di penghujung 2024 ini meskipun bulan ini dimulai dengan sakit demam. Bukan juga Desember kelabu meskipun saat sedang bersemangat datang ke kajian, eh koq bertepatan dengan rumah kemasukan air saat hujan deras dua hari lalu, gagal mendapatkan pekerjaan freelance dan harus mengalami salah alamat sampai dua kali.
Beneran,
ini bukan Desember kelabu. Segala yang terjadi hanyalah
bagian dari dinamika kehidupan yang harus dilalui. Tak mau mengidentifikasikan
diri dengan istilah Desember kelabu karena bakal membuat perasaan jadi berwarna
kelabu dan seterusnya bisa mempengaruhi cara menyikapi dinamika kehidupan. Biarlah
istilah itu hanya ada di lagu ciptaan A. Riyanto, lagu lawas yang sempat
dipopulerkan kembali oleh Yuni Shara.
Ceritanya,
saya sudah menunggu-nunggu hari H terlaksananya Tabligh Akbar Psikoterapi
Al-Qur’an pada tanggal 7 Desember lalu. Acara ini diselenggarakan oleh Rehab
Hati Makassar dengan narasumber Ustadz Nuruddin Al-Indunissy (founder
Rehab Hati). Sejak tahun 2022, biasanya kalau beliau datang ke Makassar dan
ada tabligh akbar, saya berusaha untuk mengikuti.
Untuk
acara tanggal 7 Desember ini saya sudah dengar sejak 2 bulan lalu. Saya sudah
pula sounding kepada suami dan ibu mertua dan mengajak mereka. Ibu
mertua sudah beberapa kali mendengar suara UNAI (Ustadz Nuruddin
Al-Indunissy) membacakan ayat-ayat suci yang rekamannya kami simpan di bluetooth
speaker yang biasa kami dengungkan di rumah.
Saya
mendengarkan tausiyah dari UNAI pertama kali pada Mei 2022. Sejak itu,
pemahaman saya tentang terapi al-Qur’an secara umum, khususnya ruqyah
bertambah. Saya senang menyimak penyampaian beliau yang membahas sisi
ilmiah dan sisi Islam dalam proses penyembuhan dengan al-Qur’an.
Sepengetahuan
saya, acara berlangsung di Masjid Nurul
Iman Telkom. Pada pagi hari tanggal 7, saya bersama ibu mertua langsung ke
masjid yang dimaksud. Sayangnya, sampai di sana … masjid sepi. Tidak mungkin kan
jika acara pengajian besar diselenggarakan di sana, masjid masih sepi?
Di
dalam masjid ada kegiatan tertutup yang dihadiri sejumlah muslimah. Topiknya
penyelenggaraan jenazah. Saat melihat kami datang, seorang muslimah bercadar mendekati
saya dan bertanya apa keperluan saya. Saya menjelaskan. Perempuan itu mengatakan
mungkin sebentar lagi acara yang saya maksud berlangsung.
Ah,
rasanya tidak mungkin. Masa tidak ada sama sekali
laki-laki yang datang sementara acara itu untuk umum? Dan masa hanya saya yang
datang untuk mengikuti tabligh akbar? Mana para peserta lain? Saya
mengecek WhatsApp. Di grup ada pemberitahuan tentang apa yang sebaiknya
dipersiapkan sebelum mengikuti acara. Saya mengeklik link Google Maps.
Taraa
… rupanya lokasi acara berubah: di Masjid Al-Abrar,
bukan seperti yang tertera di flyer yang saya simpan sejak bulan Oktober
lalu. Saya mengecek grup sampai ke atas. Anggapan saya, ada penyampaian dengan key
words: “perubahan lokasi” namun tak ada pemberitahuan khusus tentang “perubahan
lokasi acara”. Kalau tak teliti mengecek link maps, saya kira siapapun
bakal terkecoh seperti saya.
Saya
memesan bajaj ke tujuan berikut: Masjid Al-Abrar di jalan Sultan Alauddin, di area
Pa’baeng-baeng. Bajaj yang dipesan segera tiba dan membawa kami ke tujuan. Masjid
ini letaknya tidak jauh dari Masjid Nurul Iman. “Di sini, Bu?” tanya supir
bajaj. Saya mengiyakan karena memang kami sudah tiba di masjid. Setahu saya,
masjid tujuan berada di jalan Sultan Alauddin, di Pa’baeng-baeng sementara kami
sudah berada di masjid yang letaknya di seberang pasar Pa’baeng-baeng.
Dengan
percaya diri, saya memegang tangan ibu mertua menuju ke dalam masjid. Ketika
melihat plang masjid yang terpasang di bagian depan masjid, saya terperangah.
Ternyata masjid itu namanya Masjid Nurul Yaqien, saudara-saudara! Saya bengong,
dong.
Sekitar
3-4 orang menanyakan tujuan saya saat melihat saya celingak-celinguk tak jelas
di pekarangan masjid. Ibu mertua yang sudah mau masuk ke dalam pintu masjid
saya tahan untuk tidak masuk dulu. Saya mau memperjelas, di mana letak Masjid
Al-Abrar sesungguhnya.
Dua
orang menunjuk arah ke timur sembari mengatakan, “Masjid Al-Abrar di sana, Bu.”
”Ibu
naik bentor saja ke sana. Dekat ji. Sepuluh ribu itu ongkosnya,” ujar
seorang ibu.
Saya
mengikuti sarannya dengan menyetop bentor yang lewat sembari mengamati peta.
Dari peta, jaraknya tidak jauh dari MAN 2, tepatnya sebelum MAN 2, dekat dari
jalan Bonto Duri. Benar saja, ditawar sepuluh ribu, tukang bentornya bersedia
mengantar kami. Di depan Masjid Al-Abrar ada baliho tabligh akbar dan
masjid terlihat ramai dari luar. Fiyuh, akhirnya tiba juga.
Rasanya
geli sendiri dengan kekonyolan ini karena dari arah Masjid Nurul Yaqien, Masjid
Al-Abrar itu mendekati Masjid Nurul Iman. Dari Masjid Nurul Iman sebenarnya
bisa berjalan kaki kalau mau karena hanya berjarak sekira 700 meter. Sedangkan
jalan berkelok yang kami tempuh totalnya sekitar 2,5 km.
Dalam
perjalanan pulang ke rumah, ibu mertua berseloroh, “Kenapa tadi waktu pergi
rasanya jauh di’?”
“Karena
tadi terputar-putar, Ma,” ujar saya tertawa ringan – menertawakan kekonyolan
saya sendiri sembari bersyukur dianugerahi mertua yang sabar. Lalu kami pun tertawa
bersama. Demikian kisahku tentang “bukan Desember kelabu”, kawan.
Makassar, tertanggal angka cantik 12-12-24
Share :
0 Response to "Bukan Desember Kelabu"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^