Al-Qur’an Sebagai Penyembuh - Seminar ilmiah membahas keistimewaan Al-Qur’an sebagai penyembuh (syifa’) tanggal 8 Februari di Ruang Pola Kantor Gubernur Sulsel menjadi agenda istimewa saya di bulan Februari ini. Ustadz Sayaibani Mujiono yang juga praktisi bekam, ruqyah, herbal, akupunturis dan owner Qolbun Salim menjadi pembicara pertama yang menambah wawasan para peserta terkait kemukjizatan Al-Qur’an sebagai syifa’.
Thibbun Nabawi
Jika
berbicara tentang Al-Qur’an sebagai penyembuh maka itu erat kaitannya dengan
istilah THIBBUN NABAWI. Buat yang
masih awam dengan istilah ini … thibbun nabawi merujuk pada tindakan dan
perkataan (hadis) Nabi Muhammad mengenai penyakit, pengobatan, dan kebersihan,
maupun genre tulisan oleh para sarjana non-medis untuk mengumpulkan dan
menjelaskan tradisi-tradisi tersebut[1].
Thibbun nabawi juga dikenal sebagai pengobatan ala
Nabi dan para ulama kita menulis tentang thibun nabawi
yang paling kita kenal adalah Ibnu Qayyim Al Jauziyah dan Imam Gazali –
keduanya berguru pada Ibnu Taimiyah.
Ad Daa Wad Dawaa
Kitab
Ad daa Wad Dawaa adalah
salah satu karya dari Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah yang terkenal dan membahas thibbun
nabawi. Ustadz Syaibani mengatakan sejarah buku setebal 400-an
halaman itu tercipta setelah seseorang yang punya dosa tapi tidak bisa
berhenti dari dosa itu meminta nasihat kepada Ibnu Qayyim. “Jadi, buku ini
sangat penting bagi anak muda dan siapa mereka yang terpaut dengan dosa dan
tidak bisa berhenti dengan dosa itu,” tutur Ustadz Syaibani.
Dalam
bahasa Arab ada addawa (obat) dan
ada asysyifa (penyembuh).
Mengapa Allah subhanahu wata’ala membahasakan Al-Qur’an sebagai asysyifa,
bukannya addawa?
Al-Qur’an Disifati Sebagai Sebagai Syifa’ (Penyembuh), Bukan Dawa (Obat)
Menjelaskan
tentang hal tersebut, Ustadz Syaibani menjelaskan panjang-lebar dalam terminologi
bahasa Arab. Saya tidak bisa menjelaskan kembali secara detail seperti yang
beliau paparkan namun demikian, saya bisa menyampaikan kembali bahwa pada
intinya Al-Qur’an sebagai asysyifa, sebagai hakikat syifa itu
adalah “hilangnya penyakit”. “Kalau
kelihatannya sehat kemudian masih ada atau tidak hilang penyakitnya, itu
sebenarnya belum sembuh,” pungkas Ustadz Syaibani.
Yang
namanya syifa itu adalah hilangnya penyakit (fisik atau nonfisik) dan
rasa sakit dan hilangnya penyebabnya – betul-betul bersih, sembuh total. Semisal
sakit kepala, minum obat sebenarnya cuma menghilangkan gejala sakit kepalanya
saja tapi sesungguhnya sakit kepalanya belum sembuh total.
Mengapa
di dalam Al-Qur’an Allah menyifati kata syifa bukannya dawa? Karena
bisa saja yang namanya obat itu tidak menyembuhkan penyakit. Obat belum tentu
menyembuhkan penyakit, apalagi diresepkan bukan ahlinya. Kadang pula obat medis ataupun tradisional yang cocok
bagi seseorang belum tentu cocok bagi orang lain karena adanya perbedaan karakter
tubuh satu sama lain.
Obat
biasanya tidak cocok bagi semua orang makanya yang namanya tenaga ahli
kesehatan tetap dibutuhkan karena harus ada yang menunjukkan dosis dan caranya.
Orang mengatakan minum ini cocok, orang lain tidak cocok karena karakter dan
kondisi tubuh orang berbeda-beda. Bahkan
kalau tidak benar penggunaannya, obat bisa menjadi penyakit.
Obat
itu kadang bisa menghasilkan kesembuhan, kadang juga tidak. Adapun penggunaan
kata SYIFA ini adalah sesuatu yang PASTI. Asysyifa
itu UJUNG dari segala macam penyakit
dan kondisi yang tidak enak pada tubuh seseorang. Jika seseorang yang di-ruqyah
atau menjalani pengobatan dengan Al-Qur’an tidak sembuh, kembali kepada apa
yang bisa menghalangi kesembuhan dari penyakit tersebut.
SYIFA dalam Al-Qur’an
Ada
3 ayat dalam Al-Qur’an yang mengandung kata SYIFA:
- Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (Q.S. Yunus: 57).
- Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian (Q.S. Al-Isra’: 82).
- Seandainya Kami menjadikannya (Al-Qur’an) bacaan dalam bahasa selain Arab, niscaya mereka akan mengatakan, “Mengapa ayat-ayatnya tidak dijelaskan (dengan bahasa yang kami pahami)?” Apakah patut (Al-Qur’an) dalam bahasa selain bahasa Arab, sedangkan (rasul adalah) orang Arab? Katakanlah (Nabi Muhammad), “Al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman, sedangkan orang-orang yang tidak beriman, pada telinga mereka ada penyumbat dan mereka buta terhadapnya (Al-Qur’an). Mereka itu (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (Q.S. Fushilat: 44).
Sebagian atau Keseluruhan Al-Qur’an?
Pertanyaan
yang kemudian muncul adalah: Qur’an itu sebagiannya saja atau keseluruhan
sebagai obat?
Ada
3 pendapat namun pendapat yang paling kuat dari jumhur mufassirin (mayoritas
ahli tafsir) menyatakan bahwa semua Al-Qur’an itu adalah obat dan
penyembuh meskipun nanti pada ayat-ayat tertentu kita bisa
gunakan tergantung penyakit apa yang dihadapi, baik penyakit fisik maupun
nonfisik.
Al-Qur’an
itu adalah pengobatan yang sempurna bagi
seluruh penyakit hati dan badan dan bagi penyakit dunia-akhirat. Namun
demikan tidak semua orang diberikan taufik oleh Allah untuk berobat dengan Al-Qur’an.
Bila
sengaja meninggalkan Al-Qur’an maka wajar jika tak mendapat taufik, bukan? Makna
meninggalkan Al-Qur’an kata Ibnu Taimiyah selain tidak mengamalkan, tidak
membaca, tidak mempelajari, tidak memahami maknanya, tidak men-tadaburi,
adalah tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai obat (isytisyfa bil Qur’an).
Syarat
mendapatkan taufik ini adalah penuh kejujuran, kesungguhan, keyakinan, dan kepasrahan
yang sempurna hanya kepada Allah. Biasanya ketika berobat dengan Al-Qur’an
tidak sembuh berarti masih ada penyakit.
Misalnya
berobat dengan madu malah mencret, bisa jadi karena terlalu banyak kotoran di
dalam pencernaannya. Atau dalam konteks nonfisik ada orang yang sudah diobati
terlalu banyak dosanya, tidak bertobat, belum bersih. Jadi belum sembuh karena
masih perlu disembuhkan lagi, masih perlu ditambah dosisnya.
Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah (Q.S. Thoha: 2).
“Kami
tidak turunkan Al-Qur’an itu untuk membuat kalian susah. Tidak untuk membuat
kalian berpenyakitan, tidak untuk membuat kalian sedih. Tapi Al-Qur’an ini
membuat kalian bahagia dunia-akhirat,” ujar Ustadz Syaibani.
Jika
seseorang diberikan taufik dengan Al-Qur’an, dia bersandar kepada Allah maka
berbahagialah karena obat “tidak akan bisa melawan Al-Qur’an” – demikian pungkas
Ustadz Syaibani.
Al-Qur’an Itu Menghunjam
Pada zaman Nabi, orang-orang kafir sekelas Abu Jahal, Abu Lahab, dan Abu Sofyan saja secara sembunyi-sembunyi tertarik untuk menelaah Al-Qur’an. Secara tak sengaja mereka bertemu lalu saling bertanya bukankan telah sepakat untuk tidak mendengarkan Al-Qur’an?
Mereka
mengakui bacaan Al-Qur’an menarik namun ego akhirnya membuat mereka menuduh
Rasulullah sebagai penyair penyihir karena mampu memisahkan ayah dan anak.
Maksudnya jika salah satu masuk Islam maka terpisahlah antara ayah dan anak. Mengapa
terjadi ketertarikan pada mereka? Karena Al-Qur’an bukan perkataan manusia!
Syifa Dulu Baru Rahmah
Kemudian
di dalam Al-Qur’an pada surah Al-Isra’ 82 ada lafadz SYIFA WA RAHMAH.
Di situ Allah dahulukan SYIFA sebelum RAHMAH. Menurut ulama, diutamakan
pembersihan dulu sebelum dihiasi. Rahmat itu hiasan – nikmat tambahan, tidak
bisa dihiasai kalau masih sakit maka sebelum dihiasi, dibersihkan dulu.
Dari
timbulnya penyakit, didahulukan syifa dengan tazkiyatun nafs
(penyucian jiwa) – menyucikan jiwa tersebut dan mengembangkannya. Penyucian itu
adalah kesembuhan dan itu syarat daripada pengembangan atau penumbuhkembangan
dari sesuatu jiwa tersebut. Maka dia tidak akan bisa berkembang kalau masih
sakit. Maka syaratnya harus sembuh dulu dan rahmat itu adalah penyempurnaan
jiwa.
“Maka
kesembuhan itu adalah penyucian … syifa adalah penyucian daripada tubuh
dan kesempurnaannya datang setelah dibersihkan,” kata Ustadz Syaibani.
Bagaimana Al-Qur’an Bisa Menyembuhkan?
Al-Qur’an
itu kalamullah, dia menghunjam pada orang yang paham ataupun tidak paham
Al-Qur’an. Ustadz menceritakan pengalaman dengan pasien-pasien nonmuslim
yang sembuh setelah menjalani bekam dan ruqyah.
Al-Qur’an
itu berbeda sekali dengan syair-syair bahasa Arab biasa. Tidak ada lafadz
huruf yang di lidah kita sesempurna itu bergoyang melebihi Al-Qur’an. Huruf-huruf
pada bahasa Arab tidak dimiliki oleh bahasa apapun.
Orang
sehat juga dilihat gerakan lidahnya. Melantunkan Al-Qur’an itu melatih. Ketika
lidah kita bergerak dengan baik, itu pertanda pembuluh darah kita sehat dan
organ tubuh juga sehat. Mengucapkan “alhamdulillahi rabbil ‘alamin” misalnya,
dari huruf-huruf itu lidah bergoyang ke atas, bawah, kiri, kanan, udara bergetar
di tenggorokan, semuanya kena. Ini akan membuat sehat. Al-Qur’an masuk ke hati
akan menenangkan jiwa dan tidak bisa diganti dengan yang lainnya.
Susunan
kata dan kalimat Al-Qur’an yang sesuai jika dibaca dengan tartil dan benar akan
memberi manfaat lahir dan batin. Ustadz menceritakan pengalaman menerapi
muridnya yang terbata-bata dengan tajwid. Terapi ini bagus karena memaksa
seseorang menyebut huruf dengan benar dan hal itu mempengaruhi sistem yang ada
di dalam tubuh. Terkait hal ini sudah ada penelitian di Saudi.
Tanda-tanda
waqaf (tanda baca untuk berhenti atau tidak) berpengaruh. Ayat Al-Qur’an
itu ada tanda berhentinya. Dalam sebuah artikel disebutkan bahwa ketika kita
berhenti, makna-makna yang terkandung di dalam ayat itu sudah pas – baik bagi
kesehatan. Misalnya membaca Al-Fatihah dibaca dengan berhenti di tanda baca dan
jika dibaca tanpa jeda akan berbeda efeknya ke tubuh.
Untuk
penyakit fisik bisa digunakan dengan metode analogi, mencontoh kisah Ibnu
Taimiyah dalam mengobati orang yang mimisan. Kepada orang yang mimisan dibacakan
surah Hud ayat 44 yang menceritakan kisah Nabi Nuh:
Dan
difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan)
berhentilah," dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera
itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: "Binasalah orang-orang
yang zalim".
Mengobati
orang demam (panas), dibacakan ayat yang “rasanya dingin”. Saat anaknya sakit
demam, sebelum memberikan herbal ustadz melantunkan Al-Furqan 48:
Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.
Atau
bisa dengan ayat yang semisal, seperti di Al-Baqarah 22. Jika merasa kedinginan
maka bisa dibacakan ayat yang menghangatkan.
Ustadz
Syaibani menekankan bahwa Al-Qur’an adalah OBAT bagi
penyakit JIWA dan FISIK. Kalau mau hidup bahagia, tenang, tenteram
dunia-akhirat, dan dimudahkan segalanya oleh Allah SWT maka berpegang pada Al-Qur’an!
Qur’an itu mubarak – Al-Qur’an itu seluruhnya berkah. Berkah itu berasal
dari bahasa Arab yang bisa diartikan: kolam yang banyak airnya, memberikan kebaikan yang banyak.
Makassar,
20 Februari 2025
[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Thibbun_Nabawi
Share :
MasyaAllah,,, barakallah...
ReplyDeleteWa fiik baarakallahu _/\_
Delete