Kita masih berada di dalam dunia yang sama dengan orang lain tetapi ada kalanya komunikasi tidak berhasil alias komunikasi tidak nyambung. Kalau dengan orang yang tidak ada pertalian darah atau ikatan apapun tidak nyambung mungkin masih bisa dibilang wajar ya tetapi bagi mereka yang berada dalam ikatan pernikahan atau ikatan darah, komunikasi yang tidak terkoneksi dengan baik bisa saja terjadi. Ada apa?
Ada anak yang mengalami luka batin
karena merasa tidak dipahami orang tuanya. Ada juga istri
yang merasa tidak bisa menjalani rumah tangga yang serasi dengan suaminya sebab
suaminya terlalu otoriter dan tidak peduli perasaannya.
Dimulai dari Mengenali
Emosi Diri
Kalau terkait perasaan memang sering
kali bukan hal mudah membawanya dalam komunikasi verbal. Bagaimana
mengekspresikannya dengan tepat menjadi kesulitan bagi sebagian orang.
Jangankan mengekspresikan, mengenali dan menganalisa apa yang dia rasakan saja tidak
mampu padahal tahapan awal kecerdasan emosional adalah mengenali emosi diri.
Kalau tak mengenali dan tak mampu
mengidentifikasi emosi diri sendiri, bagaimana bisa mengekspresikannya dengan
tepat? Bagaimana membuat orang mengerti perasaan kita kalau kita sendiri tak
mampu membahasakannya dengan tepat?
Anak Belajar
Berkomunikasi dari Orang Tua
KEMAMPUAN KOMUNIKAS sangat PENTING!
Saya baru menyadarinya bertahun-tahun setelah lulus kuliah. Saking pentingnya,
sebaiknya orang tua memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik supaya bisa
mengajarkan anaknya bagaimana berkomunikasi dengan baik sehingga ketika
kemampuan berkomunikasi diperlukan dalam interaksi anak dengan orang lain di
lingkungannya – semisal di sekolah atau di antara teman-temannya, anak mampu
mengekspresikan dengan baik apa isi pikiran dan perasaannya.
Pada awalnya anak akan bereaksi
terhadap sesuatu meniru reaksi orang tuanya, terutama ibunya. Mengapa ibunya?
Karena pada umumnya anak menghabiskan waktunya lebih bersama ibunya.
Kalau ibunya terbata-bata, grogi,
atau tidak tepat dalam mengungkapkan isi hati dan pikirannya maka anak kemungkinan
menirunya. Kalau orang tua terbiasa berkomunikasi secara efektif dan asertif
maka anak bakal menirunya.
Contoh kecil, ketika putri saya
mengungkapkan ekspresi heran atau terkejutnya, dia mengeluarkan ungkapan yang sama
seperti yang saya katakan, seperti: “Astaghfirullah!”- sama persis
dengan intonasinya.
Anak juga belajar dari cara orang
tuanya menjawab saat dia bertanya, juga dari bagaimana orang tuanya
menyelesaikan masalahnya dengan orang lain. Jika orang tuanya mampu mengendalikan
emosi ketika dihadapkan pada suatu masalah maka anak juga akan menirunya secara
tidak sengaja.
Ibu Mewariskan Banyak
Hal pada Putrinya
Bertahun-tahun lalu, saya suka menonton
talkshow Whoopi Goldberg yang ditayangkan salah satu stasiun televisi
nasional kita. Whoopi adalah seorang komedian, aktris, dan produser senior
berkebangsaan Amerika.
Dalam sebuah episodenya, Whoopi
membawakan tema tentang bagaimana ibu mewariskan pikiran dan perasaannya kepada
anak perempuannya. Saat nonton itu saya membenarkan dalam hati sebab saya
memiliki “sesuatu” di dalam diri yang bukan karakter, berasal dari ibu saya. Seperti
sikap, pandangan, dan perasaan tentang hal-hal tertentu.
Saat menyadarinya, “warisan” tersebut
saya telaah satu per satu dan pilah-pilah, mana yang perlu saya pertahankan dan
mana yang harus saya buang karena ada yang dampaknya tidak baik bagi kesehatan mental saya. Warisan yang saya maksud ini bersumber perkataan-perkataan ibu
yang saya dengar selama bertahun-tahun. Merasuk ke dalam otak hingga alam bawah
sadar, termasuk mimik wajah dan gesture tubuhnya.
Hal-hal yang dilihat bertahun-tahun
seperti itu menjadi bagian dari diri seorang anak maka wajar saja jika anak
juga belajar dan meniru cara orang tuanya berkomunikasi. Lalu komunikasi yang
bagaimana yang sebaiknya disadari orang tua untuk diterapkan dan dicontohkan
kepada anaknya?
Komunikasi Efektif dan Komunikasi
Asertif
Berdasarkan pengalaman dan
pembelajaran sepanjang puluhan tahun, saya menemukan istilah “komunikasi
efektif” dan “komunikasi asertif”. Tapi disclaimer
dulu ya, saya bukan pakar komunikasi, sampai sekarang pun saya masih
belajar agar bisa berkomunikasi dengan baik.
Komunikasi yang asertif dan efektif
itu ibarat dua sisi koin yang saling melengkapi. Bayangkan saat Anda lagi ngobrol
santai dengan sahabat—bukan cuma diri sendiri yang ngomong tapi kalian
saling dengar dan mengerti satu sama lain. Punya sahabat seperti ini?
Nah, bagaimana caranya bisa nyambung seperti
itu? Kuncinya ada pada kejelasan dan keberanian untuk menyampaikan pendapat
dengan cara yang lugas tanpa membuat orang lain tersinggung – dengan komunikasi
efektif dan komunikasi asertif.
Komunikasi efektif itu berarti kita
tak cuma ngomong sendiri tapi juga menjadi pendengar aktif. Saat fokus mendengarkan
lawan bicara, kita bisa memahami apa yang sebenarnya dia rasakan atau pikirkan.
Bukan cuma dari kata-kata yang diucapkan namun juga dari mimik wajah, bahasa
tubuh, dan nada suara yang bikin pesan jadi lebih jelas.
Lalu, ada komunikasi asertif. Ini
tentang menyampaikan pendapat atau kebutuhan dengan tegas dan jelas tapi tetap
penuh empati.
Misalnya, kalau ada hal yang membuat kita tidak nyaman, daripada dipendam atau
meledak-ledak, sebaiknya disampaikan dengan cara yang santai namun to the
point. Jujur sih, ini bagian yang cukup sulit bagi saya karena saya orang
tipe introvert dan bertahun-tahun terbiasa memendam isi hati dan
pikiran. Bersyukur aktivitas menulis melatih saya untuk mengungkapkan pikiran
dan isi hati dengan lebih baik.
Jadi, begitu ya, menurut para pakar
komunikasi, semua orang seharusnya bisa saling mengerti tanpa ada yang merasa
disalahpahami atau terhina.
Intinya, dengan kombinasi
mendengarkan secara aktif dan berbicara dengan jujur serta hormat, komunikasi
bisa mengalir dengan lancar. Hal ini bikin hubungan antar individu jadi lebih
harmonis, karena semua merasa dihargai dan didengarkan. Jadi, di dunia yang
kadang penuh keributan ini, komunikasi asertif dan efektif bisa jadi jembatan
yang menghubungkan hati dan pikiran setiap orang.
Terlihat sederhana ya tapi praktinya
tak sesederhana tulisan ini. Kalau sederhana dan semua orang mudah menerapkan
maka tidak ada perselisihan hingga pertikaian di muka bumi ini. Pada kenyataannya
ada saja kejadian yang membuat orang-orang yang terkait tersulut emosinya,
menjadi depresi, bunuh diri, atau bunuh-bunuhan.
Mengapa Komunikasi yang Baik
Sulit Terjalin?
Komunikasi yang baik sering kali
sulit terjalin karena ada banyak faktor yang menyebabkan pesan tidak
tersampaikan sebagaimana mestinya.
1. Adanya Perbedaan
Antarindividu yang Berkomunikasi
Setiap orang memiliki latar belakang,
pengalaman, dan nilai yang berbeda sehingga mereka bisa menafsirkan kata-kata
dengan cara yang beragam. Ketika pesan disampaikan dengan cara yang ambigu atau
tidak jelas, penerima bisa saja menangkap makna yang berbeda dari maksud
sebenarnya.
2. Emosi Turut Berperan
Emosi juga memainkan peran penting.
Saat seseorang sedang stres, marah, atau sedih, mereka mungkin tidak bisa
mendengarkan secara aktif, sehingga pesan yang seharusnya bisa dipahami dengan
baik malah menimbulkan salah paham. Beda cerita ketika perasaan sedang bahagia.
Bahasa nonverbal seperti nada suara, ekspresi wajah, dan gerakan tubuh juga
dapat mempengaruhi interpretasi pesan, jika tidak selaras dengan kata-kata yang
diucapkan, hal ini bisa membuat komunikasi jadi tidak efektif.
3. Kurangnya Umpan Balik
Faktor lain adalah kurangnya umpan
balik. Tanpa adanya klarifikasi atau pertanyaan balik untuk memastikan bahwa
pesan telah diterima dan dimengerti dengan benar, kesalahan interpretasi bisa
terjadi. Semua faktor inilah yang membuat komunikasi antarindividu sering kali
mengalami kendala dan salah paham. Mungkin kita mengira ucapan kita sudah
diterima orang sesuai keinginan kita namun kenyataannya tidak demikian.
💙💛💚
Well, bagaimana – tidak sederhana tulisan
ini ya penerapan komunikasi yang baik yang menyenangkan semua pihak atau yang
tidak menimbulkan miskomunikasi? Butuh keinginan tulus untuk belajar dan terus
memperbaiki diri untuk belajar komunikasi ini sebab ada beragam karakter manusia
dengan berbagai situasi dan kondisi berbeda di sekeliling kita. Itu kalau kita
ingin hidup dengan nyaman dengan meminimalkan keributan.
Makassar, 7
Maret 2025
Share :
Sampai saat ini pun, saya masih belajar komunikasi
ReplyDeleteKalau di rumah, mungkin saya lebih mendengarkan. Bahkan siap diomelin. Belajar untuk dewasa, dan belajar untuk memendam emosi