Orang Berubah – People changed! Ungkapan ini sering terdengar di film-film berbahasa Inggris. Menggambarkan bahwa sudah menjadi kebiasaan manusia berubah. Kita tak bisa mengharap terus kepada orang yang sama akan berlaku sama setiap saat, sejak puluhan tahun lalu, sampai hari ini.
Sepertinya mudah diucapkan namun
begitu dihadapi, tak urung kaget juga karena tak menduga ada orang yang perubahannya ekstrem.
Lalu terlintas pertanyaan: apakah sejak dulu dia begitu – saya saja yang
tidak sadar? Ataukah memang perubahan ini baru terjadi?
Saya sampai pada kesimpulan bahwa
setiap orang punya karakter
yang mungkin dulu tak terlihat sebab tidak ada “alasan” untuk memperlihatkannya
sampai dia berada di posisi yang tiba-tiba saja terlihat oleh kita.
Misalnya, saya bingung mengapa tiba-tiba
mendapati seseorang jadi sebegitu sombong? Padahal dulu baik-baik saja,
menghargai selayaknya mengahargai orang lain lalu kenapa tiba-tiba dia berubah?
Di saat yang bersamaan saya melihat
orang-orang yang bersikap tidak seharusnya. Tidak pernah diajarkan oleh agama
ataupun (saya yakin) oleh orang tuanya. Orang-orang itu melihat manusia berdasarkan
ukuran sukses keduniaan yang dimilikinya.
Dengan gampang memandang remeh kepada
mereka yang lebih tidak sukses atau lebih miskin daripada dirinya dan begitu
memuja petinggi, serta terlihat seolah selalu bermuara kepada petinggi, baik
petinggi wilayah maupun petinggi bisnis atau komunitas tertentu.
Beberapa hari yang lalu saya ngobrol
dengan seorang kawan bersama beberapa bestie lainnya. Kami ngobrol tentang
masa lalu yang sama-sama diketahui atau hanya diketahui sebagian di antara
kami. Mengingat sembari tertawa pada bagian yang lucu. Sesekali terlontar, “Masa?
Begitukah?”
Kawan ini mempertanyakan mengapa
banyak orang tidak memperhatikan hal-hal yang seharusnya diperhatikan (secara ideal,
begitu) oleh oknum yang berada di tempat
yang seharusnya memperhatikan segala sesuatunya berdasarkan idealisme yang juga
dipegang atau diakui oleh sebagian besar warga di tempat itu.
Rasanya sayang karena tidak bisa
memelihara tempat itu sebagaimana seharusnya, menjadi tempat berlindung atau
menjadi pengayom bagi yang lebih muda. Iya sih, sayang memang karena
justru yang lebih muda bukan menjadi perhatian, apalagi prioritas oknum
tersebut.
Sementara sang kawan ini masih dengan
kesederhanaannya padahal lingkup kerjanya lintas negara. Masih sosok yang
(rasanya) sama dengan sosok yang saya liat sekian tahun lalu. Dia masih sosok
ayah yang baik bagi anak-anaknya, terdengar dari bagaimana dia menceritakan
tentang anak-anaknya yang mana tak banyak ayah seperti dirinya yang saya tahu.
Sekitar hampir 30 tahun mengenalnya, sepertinya dia tidak berubah. Dia masih
seperti sosok yang sama.
Saya bilang padanya bahwa tak banyak
orang seperti caranya yang memperhatikan anaknya. Dia bisa dengan mudah memutuskan akan berhenti kerja jika terkait
anaknya atau jika anaknya membutuhkan, bahkan tak segan pindah domisili dan
memulai kehidupan baru di sana.
![]() |
Pindah ke Kanada demi Anak. Sumber foto: cnnindonesia.com |
Kira-kira seperti Teuku Firman, suami
mantan artis Cindy Fatikasari. Cindy Fatika Sari dan suaminya, Tengku
Firmansyah, telah memutuskan untuk pindah ke Kanada dan menetap di sana bersama
anak-anak mereka, dengan alasan untuk menemani anak-anak mereka yang
melanjutkan pendidikan di sana.
Atau seperti Fachri Nugraha Syahputra
yang berkorban besar demi mengantarkan putrinya, Nabila Taqiyyah, ke Jakarta
hingga sukses meraih posisi runner-up dalam ajang Indonesian Idol musim XII.
Demi mendukung impian Nabila, Fachri bahkan
memilih meninggalkan pekerjaannya sebagai anggota Polri. Tak hanya itu, dia
juga rela menjual rumah dan mobil di kampung halamannya agar sang anak bisa
mengejar cita-citanya. Nabila sendiri telah mengasah kemampuan bernyanyi sejak
usia 5 tahun. Sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara, ia masih berusia 17
tahun, sementara adik-adiknya masih kecil.
Tak gampang memutuskan pindah atau
keluar dari pekerjaan demi anak seperti yang dilakukan sang kawan itu, Tengku
Firman, dan Fachri.
Saya juga katakan padanya bahwa di
usia matang seperti usia kami, banyak orang berubah, terpengaruh harta, tahta,
atau wanita.
Ada ayah yang tega melakukan KDRT pada anaknya di tengah situasi sang ayah
telah meninggalkan ibunya demi perempuan lain.
Ada ayah yang tak mau menafkahi keluarganya
demi bersenang-senang dengan penghasilannya sendiri atau demi perempuan lain.
Ternyata kisah seperti ini yang dahulu saya tahunya dari sinetron memang ada di
dunia nyata, bahkan pelakunya ada yang saya kenal. Ada juga yang saya kira saya
kenal baik padahal ternyata saya hanya mengenal kulitnya. Begitu dia ganti
kulit, saya kaget luar biasa dengan perubahannya.
Saya katakan juga bahwa tiap orang
punya cara pikir sendiri, ada saja orang yang punya ambisi untuk memperkaya
diri tanpa peduli orang lain. Bahkan ada orang yang memandang remeh orang lain
yang dianggap kalah sukses darinya atau dianggap lebih yunior darinya karena
merasa dirinya si paling berhasil.
Yang paling konyol, baru saya alami.
Saya mengirim pesan WA kepada seseorang. Isinya saya pikir penting baginya.
Sayangnya, dia pura-pura tak baca pesan saya. Mengapa saya tahu? Karena ada petunjuk
yang membuat saya tahu dia berpura-pura tidak baca WA dari saya. Saya pikir dia
berubah padahal mungkin saja dia sedang menunjukkan wajah aslinya. Dia
menunjukkan bahwa pesan saya tak penting baginya.
Ngomong-ngomong tentang WA, kok kebetulan ngobrol
dengan salah seorang teman. Katanya pesan WA tak berbalas bisa menimbulkan kebaperan
(kebawa perasaan). Saya bilang padanya, mungkin masa baper saya sudah
lewat. Saya sudah sering WA orang dan orang itu tidak pernah membalas WA saya.
Sebenarnya ada alasan logis mengapa orang
tak membalas WA sebab saya mengalaminya sendiri. Bukan karena sengaja,
melainkan karena pesan pribadi terkadang turun ke bawah, jauh “tertumpuk” oleh
grup-grup aktif. Saya bergabung dengan sekitar 200-an grup dan banyak di
antaranya yang aktifnya luar biasa. Bisa ratusan pesan dalam sehari tak terbaca
kalau tak dibuka. Sampai-sampai saya sering hanya masuk grup-grup untuk
melakukan clear chat.
Saya pernah beberapa kali mengurusi online
event yang membutuhkan kesabaran dalam mengirimkan pesan teks WhatsApp
kepada puluhan hingga seratusan orang. Syukur masih banyak yang membalas,
mengucapkan terima kasih dan menerima undangan dengan baik.
Sejumlah orang hanya read saja
tanpa berkata apa-apa, tanpa bertindak apa-apa sehingga saya harus mengirimkan
ulang pesan, untuk memastikan apakah memang dibaca atau tidak sebab saya harus
melakukannya karena terkait key performance index yang harus dipenuhi. Ada
juga yang sok sibuk sekali, berkali-kali dikirimi WA tak kunjung membalas juga.
Masih banyak orang tak menyadari, tak
menjawab pesan WA dengan semestinya padahal sudah membaca itu mirip dengan situasi
ini: seseorang sedang berbicara tetapi hanya ditatap oleh orang yang diajak
bicara. Orang yang diajak bicara itu hanya menatap tanpa berkata apa-apa. Bagaimana
rasanya?
Jadi, saya sudah kenyang dengan
orang-orang yang tak membalas WA. Di samping itu, memang mereka sedang sibuk
sampai-sampai tak sempat membaca WA. Saya pun kadang sok sibuk sampai terlewat
membaca WA pribadi.
Terkadang saya menganggap diri saya saja yang tidak sibuk dan mau berinteraksi dengan orang-orang sibuk, jadi ya waja saja jika tidak ditanggapi semestinya. Begitulah kehidupan, Kawan.
Untuk Brother yang saya ceritakan di
awal tulisan ini, tetaplah rendah hati, jangan berubah ya. Tetaplah mencintai
anak-anakmu sebagaimana yang kau ceritakan. Tak banyak teman dan ayah sepertimu
...
Makassar, 23 Maret 2025
Share :
Pastinya orang tua ingin melihat dan menyaksikan anak-anaknya tumbuh dengan sempurna. Ingin selalu mendampinginya.
ReplyDeleteSoal berubah, pasti semua akan berubah ya. Dan semua juga tergantung dari sudut pandang. Walau katanya tidak berubah, pada hakikinya juga berubah. Entah itu berubah semakin matang, atau justru sebaliknya
Soal WA, aduh saya kok jadi tersindir.
Saya memang mengurangi ketergantungan dengan hape atau bermedia sosial. Walau sudah saya baca, kadang lupa membalasnya.
Saya mencoba untuk lebih langsung berinteraksi.