Memori Pantai Losari, Sebelum dan Setelah Reklamasi – Seorang laki-laki sedang mengatur meja dan kursi tempat pembeli duduk. Lelaki yang mengenakan baju bermotif seperti kulit sapi berwarna hitam-putih itu sedang menyusun meja-meja kayu beralas taplak plastik hijau ke dalam deretan sejajar. Tiga tumpuk kursi plastik berwarna hijau terlihat di dekatnya. Sebentar lagi dia akan menggelar dagangannya berupa pisang epe’ – pisang panggang khas Makassar. Lelaki itu berdiri sekitar 5-7 meter di sebelah utara tempat anak sulungku memarkir sepeda motornya.
Tiga
hari yang lalu saya menyusuri Pantai Losari dengan tujuan mengambil foto untuk
kebutuhan tulisan. Saya sedang mengikuti lomba menulis di Kompasiana dan
rencananya mau menulis topik tentang wisata di Fort-Rotterdam dan Pantai
Losari.
Berkendara
dari arah Masjid Amirul Mukminin, menuju utara, saya meminta si sulung untuk
berhenti di bagian pantai yang seharusnya bisa diakses oleh siapa saja dengan
gratis. Saya pun turun dari sepeda motor. Si sulung Affiq tetap duduk di
motornya, menunggui saya. Saya mengambil foto beberapa view Pantai
Losari dari spot yang letaknya persis di sebelah kanan MGH. Setelah
merasa cukup, saya berjalan ke arah Affiq.
Tiba-tiba
terdengar suara lelaki sedang mempersiapkan lapaknya itu, “Bayar parkir!” Saya
menoleh ke arahnya – bingung. “Bayar parkir!” perintahnya sembari menunjuk ke
arah tukang parkir gedung sebelah.
Pandangan
saya beralih kepada tukang parkir yang dia maksud. Lelaki tua itu sedang sibuk
dengan pekerjaannya di depan pagar gedung. Tak lama kemudian, dia masuk ke
dalam pekarangan. Seharusnya dia melihat kami tetapi dia kelihatan tak peduli
kepada kami, tidak berminat meminta ongkos parkir.
Saya
menyiapkan uang Rp2.000 di tangan kanan. Bersiap kalau-kalau dimintai uang
parkir sembari membatin, “Kenapa dimintai uang parkir sementara Affiq tak
meninggalkan kendaraan sama sekali?”Kasih atau tidak?
Bukannya
pelit, saya kadang-kadang merasa kurang bisa ikhlas menghadapi tukang parkir
sebab banyak mereka yang gabut. Pekerjaan tak dilakukan karena menghilang atau
kendaraan ditunggui pemilik, tiba-tiba muncul menagih. What the ….? Kenapa
kesannya jadi mirip pengemis yang menadahkan tangan?
Yang
aneh, saat itu, tukang parkirnya terlihat tidak ada niat meminta uang parkir
kepada kami namun mengapa sesebapak yang lagi sibuk mempersiapkan
lapaknya itu yang memerintahkan kami untuk bayar parkir?
“Affiq,
bayar parkir atau tidak? Tukang parkirnya tidak peduli ji sama kita,” tanya
saya. “Tidak usah mi,” Affiq merespon sambil menggelengkan kepalanya. Cuss-lah,
kami pun melaju.
Ingatan Masa Kecil di Pantai Losari
Saat
kecil, Pantai Losari merupakan salah satu tempat hiburan favorit orang tua
saya. Maksudnya, menjadi tempat favorit mereka untuk membawa kami berjalan-jalan.
Dahulu rumah kami letaknya hanya sekitar 1 kilometer lebih dari Pantai Losari.
Setelah
mandi sore, biasanya ayah yang membawa kami dengan sepeda motornya ke Taman
Safari di Pantai Losari. Namanya Taman Safari karena di sana ada sejumah patung
hewan berukuran besar. Yang paling saya ingat adalah patung gajah yang sangat besar.
Saking besarnya, jika anak kecil ingin duduk di atasnya, harus dijunjung dulu melampaui
kepala orang dewasa agar bisa didudukkan di atas patung gajah.
Pantai
Losari merupakan tempat hiburan utama saat tahun baru. Beberapa kali saya dan
adik mengekori sepupu-sepupu berusia dewasa untuk bertahun bari di Pantai Losari.
Entah demi apa karena sebenarnya tak mendapati “hiburan” yang menyenangkan.
Secara
bersamaan, orang-orang di kota ini berbondong-bondong berjalan kaki ke arah
pantai. Di area pantai di jalan Penghibur penuh sesak dengan manusia. Rasanya
seperti berada di pasar senggol. Tak ada untungnya buat anak kecil macam kami
karena dengan tubuh ukuran kecil, pengap sekali berada di antara banyak kaki
orang dewasa. Kebiasaan mengekori orang dewasa bertahun baru di Pantai Losari hanya
sekitar 2 kali saya dan adik lakukan, setelah itu, lebih memilih di rumah saja.
![]() |
Tempat menikmati makanan dan Pantai Losari. |
Pantai yang Sama tetapi Berbeda
Pantai
Losari namanya masih sama sejak dulu hingga kini. Hanya saja bentuknya berbeda.
Pada masa 1980-an hingga 1990-an, Pantai Losari mudah diakses oleh siapapun.
Waktu itu pandangan mata masih leluasa sampai di batas cakrawala. Berbeda
halnya setelah reklamasi pantai, pandangan mata lebih terbatas.
Pembangunan
Pantai Losari dimulai pada tahun 1945 dengan pembuatan struktur tambahan
pertama. Pada masa itu, pemerintah Wali Kota Makassar, DM van Switten
(1945-1946), merancang lantai dasar beton sepanjang 910 meter.
Selama
pemerintahan NICA, pemasangan lantai ini dilakukan untuk melindungi area-area
strategis dan fasilitas warga di Jalan Penghibur dari terjangan ombak deras
Selat Makassar.
Seiring berjalannya waktu, Pantai Losari berubah drastis, dari garis pantai yang sederhana, kini menjadi pusat keramaian yang ramai dengan pedagang kaki lima yang menjajakan jajanan khas Makassar. Saat ini, Pantai Losari telah dikenal sebagai ikon Kota Makassar sekaligus pusat kuliner khas Makassar[1].
Ingatan
masa kecil saya masih mengenali Pantai Losari sebagai tempat wisata
murah-meriah. Kita bebas memilih mau duduk di mana saja pada tanggul sepanjang
kurang lebih 2 kilometer sembari menikmati kuliner dari para pedagang yang
membawa gerobak. Saat itu pisang epe’ mudah diperoleh di Pantai Losari.
Sepertinya memang tempat mangkal para pedagang pisang epe’ di sana karena saya
tak menemukan pedagang pisang epe’ di tempat lain.
Reklamasi Pantai Losari
Reklamasi
Pantai Losari dilakukan sekitar tahun 2015-2016 (CMIIW). Reklamasi Pantai
Losari adalah proyek pemerintah untuk mengubah garis pantai menjadi kawasan
Central Business District (CBD) modern. Proyek ini bertujuan untuk
mengembangkan wilayah tersebut menjadi pusat ekonomi dan pariwisata[2].
Reklamasi
tak lepas dari dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan. Reklamasi dapat mengubah
pola aliran air laut, meningkatkan risiko banjir, dan memperburuk masalah
drainase alami. Salah satu yang mendapat dampak buruknya adalah nelayan yang
menggantungkan hidupnya pada hasil laut, salah satunya adalah karena harus
melaut lebih jauh lagi untuk menangkap ikan.
Reklamasi
Kawasan Pantai Losari membawa berbagai manfaat, seperti peningkatan sektor
bisnis dan pariwisata yang berkontribusi pada kenaikan pendapatan asli daerah. Di
samping itu, reklamasi juga berperan
dalam mengurangi risiko tsunami. Hal ini disebabkan oleh adanya pemasangan front
break water selama proses reklamasi, yang berfungsi untuk meredam kekuatan
gelombang yang datang, sehingga potensi kerusakan akibat tsunami dapat
diminimalisir. Lebih jelasnya mengenai dampak reklamasi bisa dibaca di tulisan Irmalasari
Ar berjudul Menelusuri
Kembali Jejak Reklamasi Pantai Losari, Makassar.
Ingatan Tentang Reklamasi
Di
masa reklamasi Pantai Losari, area pantai memang terlihat makin keren namun
penjual makanan semakin jauh. Tak bisa lagi menikmati sunset sembari
mengunyah. Bisa banget kalau hanya duduk-duduk kosong atau menyantap
makanan yang dibawa sendiri dari rumah.
Memang
ada area yang disediakan untuk pada pedagang makanan tetapi tempatnya tidak
menarik karena tak bisa menatap pantai dari sana. Mereka yang datang ke sana
hanya yang benar-benar ingin makan tanpa
nilai tambah melihat pemandangan sunset.
![]() |
Menikmati Sunset di Pantai Losari sembari makan pisang epe' bisa di sini. |
Seiring
waktu, kebijakan pemerintah kota berubah. Para pedagang makanan kembali
dibolehkan berjualan di dekat bibir pantai. Ada juga yang persis di bibir
pantai, seperti di tempat kami parkir motor di awal tulisan ini.
Di
bulan Ramadan, ngabuburit di Pantai Losari bisa menjadi kegiatan yang asyik
karena kita bisa menyantap pisang epe’ sembari menatap sunset. Untuk
melaksanakan shalat magrib, shalat isya, dan shalat tarawih
bisa dilakukan di Masjid Anshar di jalan Somba Opu atau di Masjid Amirul
Mukminin yang posisinya seolah terapung di atas laut.
Hari
ini, pemandangan di Pantai Losari tidak seluas dulu. Tak banyak spot untuk
melihat cakrawala karena pemandangan dibatasi oleh gedung-gedung milik para
pengusaha yang sudah berdiri megah di atas tanah reklamasi. Area reklamasi itu
kini sudah disulap seperti sebuah kota antah berantah. Terkadang melihat
foto-foto yang beredar di media sosial, saya seperti melihat potret luar negeri
dengan latar belakang CPI (Center Point of Indonesia).
Bagi saya, Pantai Losari masih menarik namun berbeda suasananya dengan dulu. Saya tidak pernah bosan ke sana, hanya sekadar melihat laut, cakrawala, anjungan-anjungan Pantai Losari, atau perahu nelayan yang sesekali terlihat. Saya beruntung tinggal di kota yang warganya mudah menikmati pemandangan pantai. Tidak perlu bayar ke Pantai Losari. Tidak seperti kota-kota lain yang harus berkendara jauh dan membayar tiket untuk sekadarn merasakan aroma laut. Oya, kalian pernah ke pantai apa saja? Sudah pernah ke Pantai Losari? Oya, cari tahu juga ya kapan Momen yang Tepat ke Pantai Losari!
Makassar, 11 Maret 2025
[1] https://www.detik.com/sulsel/wisata/d-6414531/pantai-losari-makassar-profil-lokasi-fasilitas-dan-sejarahnya
[2] https://journal.unhas.ac.id/index.php/DPMR/article/view/18763
Share :
0 Response to "Memori Pantai Losari, Sebelum dan Setelah Reklamasi"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^