Keluar
dari Ruang I Lagaligo, usai menghadiri Ruang Bersama di Makassar International
Writers Festival (17 Mei lalu), saya mengikuti ajakan Kang Maman Suherman ke
taman, tempat digelarnya Kampung Literasi. Kampung Literasi tidak ada di dalam
daftar acara resmi MIWF 2017. Saya berani memastikan ini acara tambahan pada MIWF.
Sebelumnya saya sempat bertemu seorang panitia yang mengatakan ada beberapa
acara yang belum masuk pada run down yang
pertama kali dicetak.
Beranda / MIWF
Showing posts with label MIWF. Show all posts
Showing posts with label MIWF. Show all posts
MIWF 2017: Tentang Ruang Bersama yang Membincang Keberagaman
Seperti
pada tahun-tahun lalu, Makassar International Writers Festival (MIWF) kembali
di gelar pada tahun 2017 ini, tepatnya pada tanggal 17 – 20 Mei 2017, berpusat
di Fort Rotterdam, Makassar. Seperti biasa, ada banyak kegiatan.
Sambung-menyambung dan berlangsung paralel. Bahkan ada yang berlangsung di
lokasi-lokasi di luar Fort Rotterdam, seperti di UNM (Universitas Negeri
Makassar), UIM (Universitas Islam Makassar), dan Same Hotel. Saya akui, panitia
semakin cerdas membuat ragam kegiatan. Kegiatannya makin beragam, pun semakin
ramai.
Semaraknya Kids Corner di MIWF 2016
Kids Corner di Makassar International Writers Festival (MIWF) tahun ini semarak sekali. Kak
Heru, dari Rumah Dongeng telah membuat jadwal Kids Corner selama MIWF
berlangsung (tanggal 18 – 21 Mei 2016). Mamak-mamak kayak saya ini rencananya
dilibatkan juga sebagai pencerita.
MIWF 2016 Don’t Judge the Book by It’s Movie
Saya
melewatkan banyak acara di MIWF 2016. Usai menghadiri acara bertajuk Colliq
Pujie the Unsung Hero of Buginese Classical Literature di Aula Aksa Mahmud,
Universitas Bosowa pada hari kedua (tanggal 19 Mei 2016), saya tak kembali lagi
ke Fort Rotterdam pada sore harinya karena satu dan lain hal. Tanggal 20 Mei,
saya hanya khusus menghadiri Kids Corner karena putri saya Athifah akan
bercerita di hadapan hadirin di Kids Corner.
MIWF 2016: Colliq Pujie the Unsung Hero of Buginese Classical Literature
Hari
kedua Makassar International Writers Festival (MIWF) 2016, tanggal 19 Mei,
serangkaian acara menarik kembali digelar. Saya memilih menghadiri Pannel
Discussion: Colliq[1]
Pujie the Unsung Hero of Buginese Classical Literature yang diselenggarakan di Aula Aksa
Mahmud, Universitas Bosowa pukul 10.00 – 12.00. Kali ini, suami saya turut
hadir bersama saya dan ... si bungsu Afyad.
MIWF 2016: Foto yang Bercerita
Tanggal
18 – 21 Mei yang lalu, di beberapa lokasi di Makassar diselenggarakan Makassar
International Writers Festival (MIWF) untuk yang keenam kalinya. Ajang ini
berlangsung annual sejak tahun 2011.
Pada tulisan ini, saya akan menceritakan mengenai materi Workshop:
Writing & Photography yang dibawakan oleh Agustinus Wibowo di Chapel, Fort
Rotterdam pada hari pertama MIWF 2016. Oya, ini kedatangan Agustinus yang kedua
kalinya di MIWF, lho.
Melihat Perahu Pustaka
Saya
penasaran dengan Perahu
Pustaka yang akan membawa buku-buku bacaan kepada masyarakat yang bermukim
di daerah aliran sungai (DAS) dan pesisir pantai sepanjang selat Makassar
hingga ke sisi barat pulau Kalimantan yang digaungkan di MIWF 2015 (baca
tentang Perahu Pustaka di sini).
Tak terbayangkan seperti apa perahu jenis perahu baqgog yang digunakan itu. Konon kabarnya perahu jenis ini bisa
berlayar di perairan dangkal plus perairan
dalam.
Kesempatan
melihatnya dari jarak dekat adalah pada hari Sabtu, 6 Juni 2015. Saya dan para
keluarga yang terlibat dalam kegiatan Family Reading Challenge untuk MIWF 2015
di media sosial mendapatkan kesempatan untuk itu. Bersama anak-anak dari Ruma
Sokola dengan para pengurus dan orang tua mereka, kami boleh menyaksikan perahu
itu usai Kids Corner. Tempatnya bukan lagi di Fort Rotterdam, melainkan di
dermaga yang terletak di seberang Fort Rotterdam.
Keceriaan dan Hujan di Kids Corner MIWF
Jadwal
resmi Makassar International Writers Festival (MIWF) 2015 bisa bikin ragu-ragu,
apakah ada acara untuk anak-anak atau tidak. Di tahun-tahun lalu, sejak MIWF
tahun 2011, selalu ada Kids Corner – acara untuk anak-anak berupa dongeng dan
pertunjukan seni lainnya. Di tahun ini, walaupun tidak tercantum resmi, Kids
Corner masih ada, tepatnya berlangsung pada tanggal 5 Juni, di sore hari.
Matahari
di sore itu tidak terik. Anak-anak yang sedang berada di salah satu pojok
halaman Fort Rotterdam terlihat sangat menikmati keceriaan bersama Kak Heru.
Kak Heru sedang mengajak mereka untuk olah gerak.
Saya
meneliti wajah anak-anak itu, sebagian besar berasal dari Ruma Sokola. Wajah
anak-anak saya – Athifah dan Afyad tak ada di antara mereka. Kepada Sifaun Nisa
– relawan MIWF yang bertugas di Kids Corner, saya bertanya jam berapa acara itu
dimulai. “Jam setengah empat, Kak. Tadi ada pendongeng dari Jepang,” jawab
Nisa.
Belajar dari Filosofi Seno Gumira Ajidarma
Saya
tak jadi mengikuti sesi Maman Suherman di Makassar International Writers
Festival (MIWF) pada tanggal 5 Juni lalu padahal saya sangat ingin
menghadirinya. Saya sedang menyukai tema jurnalisme, media, dan jurnalisme
warga. Saya hadir pada sesi Maman Suherman di MIWF 2 tahun lalu dan saya suka
sekali mendengarkan pengalamannya dalam dunia media sampai-sampai ia
menerbitkan buku.
Saya
tak dapat mengikuti sesinya kali ini karena lokasi acara di kampus UIN.
Sementara Athifah ingin sekali menyaksikan dongeng di MIWF yang diselenggarakan
di Fort Rotterdam. Dongeng MIWF hanya sekali setahun dan bisa jadi pengalaman seumur hidup yang tak terlupakan bagi Athifah
dan adiknya – Afyad. Saya menghargai ini makanya saya membatalkan ikut sesi
Maman Suherman meskipun saya sangat ingin menghadirinya. Jauh lebih penting dan
berharga menyaksikan anak-anak saya berbahagia ketimbang memperturutkan
keinginan saya (ceritanya bisa dibaca di sini).
Belajar Menuangkan Gagasan dengan Jurnalisme Sastrawi
Menjelang
pukul 10 pagi, gerimis mulai turun. Pagi tanggal 4 Juni ini tak seperti
biasanya. Seharusnya sekarang musim kemarau tapi sejak tadi awan-awan kelabu
bergelantungan di langit dan udara terasa dingin. Saya mempercepat langkah
menaiki tangga bekas chapel di dalam
kompleks Fort Rotterdam. Bersamaan dengan ayunan langkah terakhir saya menaiki
anak tangga, seorang perempuan bule keluar dari pintu chapel. Saya mengenali wajahnya. “Hai, nama Saya Janet. Silakan masuk,”
sesungging senyum menghiasi bibirnya.
Saya
langsung menyalami Janet. Perempuan ini terlihat anggun dalam busana sederhana
yang dikenakannya: blus lengan panjang berwarna hitam dan rok berbahan kaus
panjang berwarna abu-abu. Saya mengikuti talkshow
yang ia menjadi nara sumbernya pada Makassar International Writers Festival (MIWF) tahun lalu. Saat itu ia membawakan materi tentang media dan Islam di
Indonesia dan di Malaysia. Saya memang sedang berminat pada media dan
jurnalisme sastrawi, makanya saya berusaha menghadiri sesi Janet di MIWF lalu
dan di tahun ini.
Perahu Pustaka di MIWF 2015
Menjelang
berangkat ke Fort Rotterdam guna menghadiri Workshop Literary Journalism di event Makassar International Writers
Festival (MIWF) 2015 kemarin, Ve Channel – sebuah TV lokal di Makassar menayangkan
live talkshow tentang Perahu Pustaka
di MIWF. Nara sumber talkshow itu
adalah Ridwan Alimuddin – sosok penting yang berada di balik terciptanya Perahu
Pustaka itu.
Ridwan Alimuddin (tengah) di Ve Channel, 4 Juni 2015 |
Pre Event MIWF 2015: Berakuaponik Bersama Fadly PADI
Sumber: presentasi Fadly |
Usai
Diskusi Kepenulisan dan Aktivisme, Fadly – vokalis grup musik Padi membawakan
presentasi mengenai Akuaponik (aquaponic).
Akuaponik adalah suatu sistem pertanian yang menggabungkan budi daya akuakultur
(pembesaran ikan) dan hidroponik (menanam sayuran tanpa tanah) dalam lingkungan
yang bersifat simbiotik (saling menguntungkan).
Sudah
selama 5 tahun terakhir ini Fadly giat berakuaponik. Ia menikmati kegiatan
bereksperimen membuat wadah untuk ikan dan tanaman. Kedua wadah saling menyediakan
air satu sama lain. Kedua makhluk saling memberi makan satu sama lain.
Pre Event MIWF 2015: Diskusi Kepenulisan dan Aktivisme
Tanggal
3 Mei lalu saya menghadiri Pre Event MIWF bertajuk Writing and Activism. Ada 3
aktivis perbukuan yang hadir, yaitu: Anwar Jimpe Rahman (Jimpe, dari Kampung
Buku), Zulkhaer Burhan (Bobby, dari Kedai Buku Jenny), dan M. Ilham (dari Rumah
Baca Philosophia). Ketiga tempat baca yang digawangi ketiga orang ini aktif
dalam “pergerakan aktivisme” di Makassar.
Abdi,
sang moderator mengatakan, yang disebut aktivisme (activism) adalah gerakan mengajak orang-orang untuk mengubah
perilaku terhadap sesuatu. Kalau demonstrasi di jalan merupakan suatu bentuk
aktivisme yang bisa berakibat fatal maka kepenulisan adalah aktivisme damai.
Dan, semua aktivisme adalah politik.
Setelah
moderator membuka acara, ketiga nara sumber menceritakan kegiatan mereka.
Kids Corner di MIWF 2014
Hal
yang sudah direncanakan tetapi belum kunjung dituliskan, sering membuat saya
merasa berhutang pada diri sendiri. Seperti tentang Kids Corner di Makassar International Writers Festival (MIWF) pada bulan Juni lalu di Fort Rotterdam yang hendak saya
ceritakan di sini.
Wendy Miller mendongeng dengan Bahasa Indonesia yang fasih |
[MIWF 2014] Menjadi Pencerita yang Otentik
Di
blog ini saya belum bercerita tentang Makassar International Writers Festival
yang beberapa event-nya saya hadiri.
Padahal sebenarnya saya sudah bercerita banyak di website Makassar Nol Kilo
Meter. Pada dua tulisan berjudul [Jurnalisme
di MIWF] Episode Tulisan Favorit dan [Jurnalisme
di MIWF] Episode Penulis Favorit yang keseluruhannya tersusun atas lebih dari 2.000
kata, saya bercerita tentang topik jurnalisme yang dibahas di MIWF dan secara
tak terduga saya bertemu penulis favorit saya di buku JurnalismeSastrawi.
Sementara
event yang pertama saya hadiri (tanggal 4 Juni lalu) baru
saya tuliskan sekarang. Event itu
dibawakan oleh Gina S. Noer (Head of
Content & co Founder of Plotpoint Publishing), bertajuk An Authentic Story Teller. Sepintas lalu
terlihat sepertinya ini khusus untuk penulis fiksi padahal sebenarnya tidak.
Bagi blogger macam saya, tajuk ini cocok karena blogger pun membawa identitas
dirinya ke dalam tulisan dan sebaiknya identitas yang ditampilkannya itu
otentik.
Mejelang Makassar International Writers Festival (MIWF) 2014
Sejak
tahun 2012 saya mengikuti beberapa event yang
diadakan di Makassar International Writers Festival (MIWF). Banyak pengetahuan
saya peroleh, sebagian besar saya tuliskan di sini.
Setiap
tahun, sejak tahun 2011, panitia konsisten menyelenggarakannya dan berusaha menampilkan
hal-hal yang berbeda. Mulai dari tema, konsep acara, dekorasi, dan penulis.
Persamaannya
hanya pada pemberian penghargaan setiap tahunnya kepada penulis-penulis muda
berbakat dari wiayah Indonesia timur. Beberapa bulan sebelum ajang ini
berlangsung, panitia membuka pendaftaran bagi penulis-penulis muda yang ingin
berpartisipasi di ajang ini sebagai penulis undangan.
MIWF 2013: Melihat Peluang di "Opportunity and Networking"
“Untuk orang macam saya ini, bertemu editor itu seperti bertemu artis
idola,” begitu tutur saya kepada suami yang menjemput saya usai mengikuti ajang
Makassar International Writers Festival 2013 pada hari keempat.
Kalimat itu mungkin kelihatan berlebihan. Tapi begitulah adanya, untuk
orang-orang yang bercita-cita menerbitkan bukunya sendiri seperti saya ini.
Betapa tidak, posisi editor sangat berperan dalam proses terbitnya sebuah buku.
Sebuah kesempatan emas, MIWF pada tanggal 28 Juni yang lalu menghadirkan
3 orang editor pada acara bertajuk Opportunity
& Networking. Menariknya lagi, kak Lily Yulianti Farid (ehm, maafkan bila saya sok akrab ya Kak J) bertindak sebagai
moderatornya. Jadi, bukan hanya editor yang bagai artis idola bagi saya saat
itu, kak Lily juga. Jangan heran ketika usai menghadiri acara ini, anda membaca
twit saya, “Bertemu editor dan @lilyyulianti bagai bertemu artis idola.”
Closing Ceremony Makassar International Writers Festival 2012
Suasana
malam penutupan Makassar
International Writers Festival 2012 pada tanggal 17 Juni lebih eksotis
lagi. Obor yang menyala jauh lebih banyak. Ada penjaganya pula. Sang penjaga
obor akan kembali menyalakan setiap obor yang padam.
Malam
ini gaung MIWF membuat warga Makassar yang datang jauh lebih banyak daripada
malam-malam sebelumnya. Saya terlambat datang sehingga tak menyaksikan semua
mata acara. Saat saya datang, Nurul Nisa sedang membacakan puisinya.
Baru
kali ini saya perhatikan, layar di belakang penampil di atas panggung
menayangkan naskah mereka dalam bahasa Inggris. Penerjemahan itu tentunya hasil
karya John
McGlinn.
Emerging Writers – Muatan Lokal dalam Karya Sastra
Acara diselenggarakan di gedung ini (di lantai atas) |
“Kak,
bisa ji kita’ ikut tanpa register kalo datang ki’ sekarang. Saya sudah ada di
Rotterdam mi.”
SMS
dari Nunu itu
masuk ketika saya sedang melangkah ke ruang tamu, hendak ke benteng Rotterdam.
Tetapi mulanya tujuan saya adalah membawa anak-anak ke acara Kids
Corner with Kampung Dongeng and Wendy Miller. Acara ini masih dalam
rangkaian Makassar International Writers Ferstival (MIWF) 2012.
Nunu
sedang menghadiri workshop Emerging Writers: Inspirations from Surrondings. Untuk
menghadiri semua workshop dalam MIWF,
diharuskan mengirim e-mail registrasi. Karena terfokus pada acara diskusi buku
kemarinnya, saya tak terpikir untuk meregistrasi. Baru dua hari sebelumnya
saya kirim e-mail ke panitia dan tidak ada jawaban sampai saat itu.
MIWF 2012: Sibilangngang Parseng! Makassar Writers in Action
Rasa
penasaran membawa saya ke fort Rotterdam pada Jum’at malam, 15 Juni 2012. Di
jadwal acara Makassar
International Writers Festival tertera: Special
Program: Sibilangngang Parseng! Makassar Writers in Action. Apakah itu?
Lapangan
rumput tempat panggung pertunjukan nampak eksotik dengan nyala obor-obor. Para
penonton duduk di sepanjang pembatas lapangan rumput atau “merumput”. Ah,
bukan lapangan rumput sebenarnya, lebih tepatnya disebut taman karena tertata
rapi dengan aneka tanaman.
Rupanya
malam itu ada pertunjukan seni berupa pembacaan puisi oleh penyair-penyair asal
Sulawesi Selatan. Karena datang terlambat, saya hanya menyaksikan pak Mochtar
Pabottingi, Nurul Nisa, dan Sinta Febriani. Jujur, sebenarnya secara keilmuan
saya tak memahami sastra tetapi puisi mereka terasa indah. Pilihan kata-katanya
tak biasa. Mereka piawai membawa realita ke dalam puisi dengan menyertakan rasa. Pantas saja mereka yang dipilih sebagai penampil. Sastra itu memang
indah. Dan keindahan itu nyata terasa.
Subscribe to:
Posts (Atom)