Kasus sate sianida ini tak urung membuat saya ikut merenung. Menjelajah di peramban, membuat saya menemukan nama lengkap pelaku, wajah orang tuanya, daerah asalnya, dan siapa sasaran “tembaknya”. Makin menegaskan bahwa jejak digital bisa membuat kita jatuh ke dalam lubang yang mungkin tak berdasar.
Beranda / Mengomentari Media
Showing posts with label Mengomentari Media. Show all posts
Showing posts with label Mengomentari Media. Show all posts
Disrupsi Gaya Hidup atau Kepo Maksimal?
Disrupsi Gaya Hidup atau Kepo Maksimal? – Disrupsi yang terjadi sudah dianggap biasa. Sekarang pesan makanan via aplikasi, tidak perlu datang ke gerai atau kedai makanan tersebut. Pencet-pencet tombol sambil berdaster tak mengapa. Tinggal tunggu pak/bu driver mengantarkannya sampai ke pagar atau bahkan depan pintu.
Menyoal Partisipasi Humanis dari Media dalam Meliput Kasus Reynhard Sinaga
Sebenarnya sejak kasus Reynhard Sinaga – orang Indonesia di
Inggris yang melakukan kejahatan seksual sesama jenis kepada ratusan orang ini menyeruak
saya sudah terpikir untuk menuliskan topik ini. Namun saya lebih kepada
menyoroti bagaimana para jurnalis di Inggris bersikap dalam meliput kasus ini
dan mengapresiasi mereka setinggi-tingginya.
Pentingnya Literasi Digital dan Cara Mengatasi Hoax
Ketika mengetahui dari Ibu Chitra Rosalyn
mengenai seminar dan talkshow bertajuk Technology for Education & Education for Technology: Literasi
Penggunaan Medsos untuk Indonesia Tanpa
Hoax ini, saya
langsung tertarik. Bagaimana tidak, salah satu panelisnya – Maman Suherman yang akrab disapa Kang Maman adalah salah satu dari
sedikit orang yang dengan takzim akan saya simak kata per katanya ketika
berbagi pengalaman. Pengalamannya sebagai jurnalis, sebagai orang di balik
layar dari aneka acara televisi, kegiatan sosialnya, hingga sebagai penulis
berbagai buku yang senantiasa berkeliling Indonesia selalu saja menarik dan
inspiratif untuk didengarkan. Dan inilah catatan kedua saya, mengenai pentingnya literasi digital dan cara mengatasi hoax.
7 Macam Konten Hoax yang Harus Diwaspadai
Saking
banyaknya kabar tak jelas beredar di dunia maya, melalui berbagai platform media sosial maupun berita online, saya malah tak bisa segera
menjawab ketika Geril Dwira – salah seorang fasilitator pada Half
Day Basic Workshop “Hoax Busting and Digital Hygiene” bertanya tentang berita hoax seperti apa yang pernah saya lihat.
Merusuh di Dunia Maya untuk Harapan yang Lebih Baik
Merusuh di dunia maya sebenarnya sudah beberapa kali saya lakukan. Apa yang saya
ceritakan di tulisan berjudul Lakukan Sesuatu untuk Hentikan Gaya
Menulis Cabul
bukanlah usaha
melakukan perubahan yang pertama kali saya lakukan dengan cara merusuh di dunia
maya.
4 Alasan untuk Nonton Televisi
Di
zaman yang serba internet ini, televisi masih menjadi primadona. Itu menurut
saya. Ada hal-hal yang tidak bisa digantikan oleh internet melalui gadget ataupun
laptop dalam menggunakan televisi. Dari keempat alasan mengapa masih memerlukan
televisi, ada satu alasan yang tidak bisa digantikan oleh gadget mana
pun dan masih banyak orang yang mencari kenikmatan ala-ala nonton di bioskop
(bioskop masih tetap ramai, kan?). Nah, karena ukuran layar gadget,
ataupun yang laptop yang terbatas. Sementara televisi memiliki ukuran layar
yang jauh lebih besar. Untuk ruang nonton yang cukup besar, masih memungkinkan
sekeluarga nonton televisi bersama.
Menganalisa Berita yang Sensitif Gender dan Peduli Anak
Tulisan ini merupakan bagian terakhir dari tulisan berjudul KPPPA, Tentang Partisipasi Media dalam Menulis Isu Perempuan dan Anak, Menuju Jurnalisme Berperspektif Gender dan Anti Kekerasan, Bagaimana Media Memahami Gender, dan Jurnalisme Sensitif Gender dan Peduli Anak yang merupakan catatan dari Pelatihan Jurnalisme Sensitif Gender Bagi Jurnalis dan Blogger. Pelatihan ini diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), bekerja sama dengan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan pada tanggal 21 – 22 April lalu di hotel Aryaduta.
Jurnalisme Sensitif Gender dan Peduli Anak
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan berjudul KPPPA, Tentang Partisipasi Media dalam Menulis Isu Perempuan dan Anak, Menuju Jurnalisme Berperspektif Gender dan Anti Kekerasan, dan Bagaimana MediaMemahami Gender yang merupakan catatan dari Pelatihan Jurnalisme Sensitif Gender Bagi Jurnalis dan Blogger. Pelatihan ini diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), bekerja sama dengan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan pada tanggal 21 – 22 April lalu di hotel Aryaduta.
Bagaimana Media Memahami Gender
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan berjudul KPPPA, Tentang Partisipasi Media dalam Menulis Isu Perempuan dan Anak dan Menuju Jurnalisme Berperspektif Gender dan Anti Kekerasan yang merupakan catatan dari Pelatihan Jurnalisme Sensitif Gender Bagi Jurnalis dan Blogger. Pelatihan ini diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), bekerja sama dengan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan pada tanggal 21 – 22 April lalu di hotel Aryaduta.
Menuju Jurnalisme Berperspektif Gender dan Anti Kekerasan
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan berjudul KPPPA, Tentang Partisipasi Media dalam Menulis Isu Perempuan dan Anak yang merupakan catatan dari Pelatian Jurnalisme Sensitif Gender Bagi Jurnalis dan Blogger. Pelatihan ini diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), bekerja sama dengan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan pada tanggal 21 – 22 April lalu di hotel Aryaduta.
Gender
Bukan Sekadar Memisahkan Laki-Laki dan Perempuan
Usai
pembukaan, Ignatius
Haryanto[1] menyampaikan materi berjudul Menuju Jurnalis dan Media Berprespektif
Gender dan Anti Kekerasan. “Pelatihan sensitif gender penting sekali. Pertama, sebagian dari
urusan ini, untuk mengetahui dunia sekitar kita diketahui dari media.
Macam-macam peristiwa, diketahui dari apa-apa yang dilaporkan media. Namun
media massa kadang-kadang tidak cukup peduli terhadap kekerasan terhadap anak
dan perempuan,” Ignatius menjelaskan pentingnya pelatihan jurnalisme yang sensitif
gender.
Gender adalah suatu perspektif dalam melihat permasalahan ekonomi, sosial, politik dan budaya dengan tidak membedakan antara lelaki dan perempuan. Aneka permasalahan ini dilihat sebagai suatu konstruksi sosial masyarakat, sehingga pembedaan antara lelaki dan peremuan dalam melihat aneka persoalan itu menjadi tidak relevan. Memiliki perspektif gender tidak harus berarti milik perempuan saja. Jika mampu melihat ketimpangan yang terjadi, lelaki bisa saja berprespektif gender. Di materinya, Ignatius mencontohkan lelaki-lelaki yang seperti itu: Rocky Gerung dan Nur Iman Subono.
Perspektif
Gender Itu Menyangkut Segala Aspek Kehidupan
Butuh
perspektif gender dalam menuliskan
berita, hampir di seluruh bidang. Ignatius mencontohkan pada bidang politik (soal pemimpin perempuan, soal
kepala keluarga), hukum
(diskriminatif atau tidak terhadap perempuan, misalnya dalam urusan sebagai
kepala keluarga terkait dengan pengupahan jika perempuan sebagai orangtua
tunggal atau apakah
kantor polisi punya tempat pelayanan yang ramah anak?), masalah budaya (tradisi-tradisi tertentu
misalnya terkait dengan seorang jejaka yang hendak berkeluarga mendapatkan
layanan seks dari perempuan dewasa sebelumnya), lingkungan hidup (bagaimana perempuan turut berperan menjaga
lingkungan hidup di sekitarnya), dan masalah kriminal (bagaimana cara menuliskan peristiwa kriminal yang menimpa
perempuan dan anak.
Ignatius
mencontohkan kasus perkosaan di Bengkulu yang mengakibatkan seorang remaja
putri meninggal dunia. Setelah terungkap, seolah-olah meledak, bermunculan di
mana-mana beritanya, “Pelu diperhatikan bagaimana media memberitakannya. Cepat
dan akurat tidak cukup. Perlu berempati. Tetap perlu memberikan perhatian
kepada masalah-masalah seperti ini. Jangan sampai anak dan perempuan mengalami
kekerasan yang kedua kalinya. Misalnya saat terjadi perundungan seksual, apakah
harus ditulis dengan rinci? Hati-hati. Kronologi belum tentu bisa dipertanggung
jawabkan keakuratannya. Kadang-kadang ada unsur fantasi.”
Di
makalah presentasinya, Ignatius menyampaikan isi Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik:
”Wartawan Indonesia tidak menyebutkan
dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan
identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.” Dalam penafsiran atas Pasal
5 disebutkan: ”Identitas adalah semua
data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain
untuk melacak.”
Bagaimana
Media yang Berperspektif Gender dan Anti Kekerasan
“Kalau
mau bicara bagaimana menghadirkan media dan jurnalis yang peduli terhadap
masalah perempuan dan anak, mungkin bisa melihat potret bagaimana news room,” tutur Ignatius lagi. Yang dimaksudkannya
adalah tidak hanya dalam pemberitaan, juga dalam formasi kewartawanannya:
- Komposisi ruang redaksi. Berapa banyak perempuan? Berapa dari mereka yang jadi reporter, jadi redaktur, bahkan jadi pemimpin redaksi?
- Perempuan yang menjadi redaktur. Bukan hanya pada rubrik ringan (masalah kewanitaan – yang sering dikonotasikan dengan rubric kecantikan, dapur, kuliner, kesehatan). Apakah perempuan berpeluang meredakturi rubrik-rubrik “keras” (rubrik ekonomi, politik, dan internasional)?
- Rubrikasi dan berita. Misalnya jangan sampai ada penggambaran yang terlalu detail sehingga korban bisa menjadi korban dua kali. Dalam membahas transportasi umum, apakah perempuan tidak rawan mendapatkan pelecehan? Jika ada liputan atas pembersihan oleh Satpol PP kepada para pekerja seks komersial, apakah hal yang sama dilakukan kepada para lelaki konsumennya?
- Daftar nara sumber. Banyakkah perempuan yang pernah diwawancarai untuk bidang-bidang beragam?
- Rubrik opini. Berapa banyak perempuan yang diberi kesempatan menulis? (apakah mereka hanya menulis secara “tradisional” pada momen Hari Kartini dan hari Ibu saja? Apakah tidak ada momen lain yang bisa dimanfaatkan untuk menulis?). Dari sebuah penelitian, di Kompas hanya 15% perempuan yang menulis Opini.
- Dalam dunia kerja, perempuan memiliki banyak persoalan. Mulai dari persoalan akses pada pekerjaan yang layak, upah yang layak, perlindungan dalam pekerjaan, perempuan yang memiliki keluarga
- Dalam dunia pekerjaan jurnalistik, ada cukup banyak persoalan:
= Seberapa
banyak kesempatan diberikan kepada perempuan untuk menjadi jurnalis?
= Apakah
dalam pekerjaan ini dilakukan pembagian kerja berdasarkan gender (division of labor)?
= Apakah
perempuan jurnalis dibayar lebih murah untuk pekerjaannya?
= Apakah
perempuan mendapat hak-hak normatifnya (hak cuti datang bulan, hak cuti sebelum
dan setelah melahirkan, hak untuk pengasuhan anak) sebagai pekerja perempuan?
= Apakah
perempuan mendapat kesempatan yang sama untuk dipromosikan dalam jabatan di
kantor media?
“Bagaimana
ketika terjadi perundungan seksual. Dalam kode etik jurnalistik, salah satu
pasal menyebutkan anak yang menjadi korban dan pelaku kejahatan
disembunyikan identitasnya. Yang ingin saya katakan adalah seberapa konsisten
media melindungi identitas media tersebut. Pertama, apa itu
identitas? Hal-hal yang membantu orang mengidentifikasi orang tersebut. Media
kadang-kadang menyebutnya ‘sebut saja Mawar’. Nama disamarkan, wajah diblur tetapi tetangga diwawancarai, rumah
disorot, guru diwawancarai,” tukas Ignatius Haryanto.
Mengenai perbandingan nara sumber laki-laki dan perempuan, Ignatius berkata, “Apakah Anda berpikir yang dikontak laki-laki atau perempuan … supaya berimbang? Kapan perempuan perlu ditimbulkan suaranya? BBM naik, angkot naik, sembako naik ... hanya seperti itu! Domestik sekali. Memangnya perempuan hanya mengurusi yang demikian saja?”
“Kalau
bicara tentang wanita karir. Ditemukan ketidaksamaan penghasilan. Kenapa
perempuan gajinya lebih rendah padahal posisi sama?”
pertanyaan ini dilontarkan oleh Ignatius lagi.
Dalam materinya, lelaki ini menuliskan tentang mengapa
penting untuk memasukkan isu soal perlindungan dan pemberdayaan perempuan dalam
dunia kerja:
- Ini hal yang telah lama terjadi namun kerap diabaikan untuk ditulis
- Ada bias dalam pandangan umum, dimana ada anggapan bahwa perempuan yang bekerja adalah “second income” di rumah tangganya, sehingga untuk itu “dianggap wajar” jika jumlahnya lebih kecil. Dalam kenyataannya ada banyak hal yang tidak bisa digeneralisir. Bagaimana dengan orangtua tunggal (single parent) dari pasangan yang bercerai, dan dalam hal ini perempuan yang bekerja jadi satu-satunya tumpuan penghasilan. Apakah patut kemudian income ini diperkecil atas dasar asumsi di atas
- Asumsi di atas pun lalu mengecilkan sistem reward yang berdasarkan pada merit system, bahwa orang berhak mendapatkan imbalan atas apa yang telah dikerjakan atau yang jadi prestasinya, bukan berdasarkan pada pertimbangan gender yang ada
- Perempuan adalah tenaga kerja yang potensial baik di sektor formal dan informal. Khusus dalam sektor informal kita melihat bagaimana perjuangan yang dilakukan oleh para perempuan untuk bergulat menghidupi diri dan keluarganya. Misalnya: para pedagang sayur yang telah keluar rumah sejak jam 3-4 pagi. Para penyapu jalanan, pedagang kaki lima (nasi uduk, lontong sayur dll)
- Media yang angkat masalah ini akan membuat mata masyarakat umum dalam melihat ketimpangan yang selama ini terjadi, dan mengajak masyarakat untuk sama-sama mencari solusi atas persoalan dan bias yang terjadi baik dalam masyarakat ataupun media selama ini.
Atas pertanyaan dan tanggapan pada sesi
tanya-jawab, saya mencatat tanggapan balik dari Ignatius Haryanto sebagai
berikut:
Bertanya yang faktual untuk kasus yang ,enyedihkan.
Jangan bertanya tentang perasaan! Wawancara yang lebih normal, tidak live, memungkinkan editing, memilah mana yang ingin ditampilkan dan mana yang tidak.
Dulu dirinya pernah jadi penguji skripsi mahasiswa
yang menulis bagaimana NHK Jepang menulis tsunami di Jepang. NHK tidak
pernah memperlihatkan mayat dalam tayangannya meskipun banyak korban jiwa. Tsunami
ditampilkan, dampaknya tetapi dari long
shoot. Titik-titik tertentu memperlihatkan apa yang terjadi. Pun ketika
relokasi. Intinya mengemukakan bagaiana manusia yang ingin survive. Orang Jepang sudah tahu gempa bagian hidup mereka tapi
mereka tidak mau kalah dengan gempa.
Semua saling mempersilakan duluan. Ada human dignity yang ingin ditonjolkan,
Ini yang harus menjadi warna dalam memberitakan berita terkait perempuan dan
anak. Tidak ideal dilakukan secara live.
Kalau bisa ditunda, beri waktu satu jam ke depan.
Untuk blogger, memang ada nilai plus
karena tidak terkait dengan pihak mana pun. Ignatius mengapresiasi apa yang
saya ceritakan berikut ini:
Saya berbagi pengalaman mengenai beberapa kali saya
mengkritisi cara media mainstream memberitakan/memperlakukan
perihal perempuan dan anak yang tidak etis, salah satunya ada di tulisan Mengumbar
Rahasia Pribadi Seseorang di Televisi dalam Siaran Langsung Adalah BULLY! dan
tulisan Menjadi
Nyamuk yang Mengganggu Monster Raksasa.
Saya juga menceritakan bahwa kini banyak kawan
blogger perempuan seperti saya di seluruh Indonesia yang menggunakan blog dan
akun media sosialnya untuk berbuat baik. Beberapa teman blogger perempuan
membantu me-retweet-ikan teguran
kepada rumah produksi dan stasiun televisi yang mengekspos istri dari seorang
lelaki yang mengunggah tragedi bunuh dirinya secara live di Facebook.
Saya menyampaikan apresiasi saya terhadap kegiatan
ini. Saya menceritakan kalau dulu saya menganggap banyak hal terkait
pemberitaan yang terlalu menyudutkan perempuan adalah wajar karena sudah begitu
sering saya temui – walaupun hati kecil saya merasa tidak nyaman. Setelah
beberapa kali mengikuti pelatihan yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis
Independen Makassar, wawasan saya bertambah dan memberanikan diri untuk
mengkritik hal-hal yang tidak pada tempatnya, seperti juga ketika seorang
Kompasianer menuliskan pemerkosa dengan kata “menggagahi”. Syukurnya, petinggi
Kompasiana menanggapi dengan baik kritikan saya dan mengubah judul yang
digunakan oleh sang kompasianer.
Di akhir sesinya, Ignatius mengajak peserta
pelaihan untuk membuat catatan kecenderungan 5 tahun terakhir atau tahun ini
berdasarkan data dan fakta mengenai perempuan Indonesia.
Menarik komentar moderator - Ambang Priyonggo, di saat mengakhiri sesi ini:
Faktor
budaya yang membuat nilai sensitif gender kurang kuat namun perlu upaya terus-menerus
untuk memperbaiki. Kita sadarkan diri kita dulu deh di level kognisi lalu masuk
level struktur organisasi. Lalu di level pemerintahan sehingga mampu
menghasilkan jurnalisme yang berprespektif gender dan anak.
Makassar, 12 Mei 2017
Bersambung ke tulisan berikutnya
[1] Peneliti
senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), pernah jadi wartawan antara
tahun 1994-2003, penulis sejumlah buku dan artikel di media massa, anggota
Ombudsman harian Kompas sejak 2008,
mengajar jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong,
Tangerang Selatan, dan anggota Dewan Etik, Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Jakarta.
KPPPA, Tentang Partisipasi Media dalam Menulis Isu Perempuan dan Anak
Ada banyak hal yang membuat saya baru bisa menuliskan kembali kegiatan pelatihan yang saya ikuti pada tanggal 21 – 22 April lalu di Hotel Aryaduta. Pelatihan yang berfokus pada pengetahuan penulisan isu perempuan dan anak ini diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), bekerja sama dengan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan.
Bagaimana Membahasakan Isu Perempuan dan Anak dengan Etis
“Aliansi
Jurnalis Independen awalnya dibentuk untuk melawan rezim orde baru,” Agam Qodri
Sofyan – ketua AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Makassar mengawali pertemuan
dengan menceritakan secara singkat sejarah AJI. Tudang Sipulung Komunitas
Blogger Anging Mammiri pada tanggal 18 Maret lalu berlangsung di Kafe Flash
Back Ice Cream & Coffee di Pasar Segar ruko RB8. Induk organisasi jurnalis ini
dideklarasikan pendiriannya di Bogor pada tanggal 7 Agustus 1994.
AJI Menyoal Anak dan Perempuan di Media
Pada tanggal 12 November lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar menyelenggarakan Diskusi Media Soal Anak dan Perempuan di sebuah tempat bernama Rumah Independen, di jalan Toddopuli 7 Ruko B Nomor 23 A Makassar. Diskusi ini menghadirkan 3 orang pembicara, yaitu: Ir. Fadiah Mahmud (Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulsel), Nur Anti (Kabid Kualitas Hidup Perempuan dan Anak BPPA Sulsel), dan Muhammad Idris (Produser Celebes TV Makassar) sebagai moderator.
Catatan dari Diskusi Publik Peran Media dalam Industri Kreatif
Tanggal
31 Mei lalu, saya kembali menghadiri sebuah acara diskusi yang digelar DILo Makassar di kafe Keiko, jalan Dr. Sam Ratulangi. Acaranya bertajuk Peran Media dalam Industri Kreatif. Diskusi ini menghadirkan dua nara
sumber Anggi Hasibuan, Kabiro Metro
TV Makassar dan Iko, Program & Music Director Madama Radio.
Catatan dari Diskusi Publik Media dan Isu Kekerasan pada Perempuan dan Anak
Akhir-akhir
ini, berita kekerasan seksual pada anak sangat mengerikan. Kadang-kadang ingin
bikin status seketika saat mendapatkan beritanya tapi sedang tidak connect ke internet. Namun saat connect dan terpikir untuk
menuliskannya, muncul perasaan tidak
enak. Campur aduk, antara marah, sedih, dan tidak ingin lagi mendengarnya.
Maju Terus Media Elekronik Lokal
Melihat
ada jadwal tayangan televisi kabel di sebuah surat kabar lokal, saya merasa
terenyuh. Mengapa bukan jadwal tayangan televisi lokal yang ditampilkan? Saat
ini, stasiun-stasiun televisi lokal sudah punya banyak tayangan positif, lho.
Sayang kalau tidak didukung. Ya, sedikit berderma untuk daerah sendiri kan tak
mengapa, lah ya. Untuk kepentingan bersama.
Pada
tanggal 12 Desember lalu, secara tak sengaja saya melihat tayangan televisi secara langsung
di Kompas TV Makassar, penganugerahan award
dari KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) Sulawesi Selatan kepada
media-media televisi elektronik (televisi dan radio) lokal yang peduli kepada
tayangan positif.
Saya, Bukan Perempuan Biasa
Sebenarnya saya berencana membuat tulisan berseri mengenai Festival Forum KTI (Kawasan Timur Indonesia) yang saya ikuti tanggal 17 – 18 November lalu. Saya baru membuat 3 tulisan, masih banyak yang belum saya tulis tapi saya interupsi dulu dengan tulisan ini karena ingin menuliskan satu hal penting dulu *catat: PENTING .. uhuk .. J*
Tanggal
29 September lalu saya memenuhi undangan Cakrawala TV (jaringan lokal NET. TV,
57 UHF) untuk shooting program Bukan
Perempuan Biasa. Shooting-nya
bertempat di cafe sebuah hotel di bilangan Racing Center.
Kunjungan yang Menyenangkan ke Kantor Redaksi Harian Amanah
Seorang
teman, namanya Kak Arni posting status
tentang Harian Amanah dengan menge-tag saya
dan teman-teman lainnya. Suatu kebetulan, suami saya pernah membawa pulang ke
rumah sebuah edisi dari Koran Amanah. Menarik. Koran Amanah adalah sebuah koran
yang anti mainstream. Di tengah
kondisi media cetak yang hampir seragam dalam pemberitaan dan karakter, koran
ini tampil percaya diri dengan mengusung bendera “dakwah islami”, terbit di
Makassar pula. Benar-benar sebuah terobosan!
Saya
tertarik dengan koran ini. Rasanya ingin menyambangi kantor redaksinya. Kak
Arni yang mengenal salah seorang pegawai pada kantor redaksi Harian Amanah
membantu. Maka ketika kantor barunya – di jalan Kakatua nomor 35 (gedung Almira
lantai 3) baru saja ditempati beberapa hari, saya dan beberapa teman yang tergabung dalam IIDN (Ibu-Ibu
Doyan Nulis) Makassar bertamu (12 Oktober 2015).
Pentingnya Peran Media dalam Melindungi Hak Anak
Tulisan ini merupakan tulisan ke-6 mengenai Pelatihan Jurnalistik Membangun Perspektif Perempuan dan Anak dalam Pemberitaan (LBH APIK, 10 – 11 Agustus 2015). Lima tulisan sebelumnya adalah: Menggugah Kepedulian Jurnalis Melalui Kritik Media, Kekerasan dan Media, Agar Media Berperspektif Gender, Sudut Pandang Hukum yang Bisa Digunakan dalam Menulis Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak, dan Isu Anak, BukanHanya Engeline.
“Sebenarnya banyak agenda dan isu yang butuh dukungan
tapi justru tidak dibantu dari sisi pemberitaan,” hal ini dikatakan Pak Rusdin
Tompo di sesinya, hari kedua pelatihan.
“Anak-anak dari pemotongan hewan di Tamangapa
(kabupaten Gowa – Sulawesi Selatan, red), yang setiap harinya terlibat dalam
pekerjaan pemotongan daging, pernah diliput oleh BBC London. Apakah pernah
diliput media lokal?” Pak Rusdin memberi sebuah contoh.
Subscribe to:
Posts (Atom)